PRESIDEN
REPUBLIK
INDONESIA
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
5 TAHUN 1999
TENTANG
LARANGAN
PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN
USAHA
TIDAK SEHAT
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya
kesejahteraan
rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945;
b.
bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempa-tan
yang
sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses
produksi
dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang
sehat,
efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pe
rtumbuhan ekonomi
rtumbuhan ekonomi
c.
bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi
persaingan
yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya
pemusatan
kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak
terlepas
dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh negara Republik
Indonesia
terhadap perjanjian-perjanjian internasional;
d.
bahwa untuk mewujudkan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a,
huruf
b, dan huruf c, atas usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat perlu
disusun
Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan
Usaha Tidak Sehat;
Mengingat:
Pasal 5 Ayat (1), Pasal 21 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (2), dan Pasal 33 Undang-
Undang
Dasar 1945;
Dengan
persetujuan
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI
DAN
PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT.
BAB
1
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam
undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau
atas
penggunaan
jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
2.
Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku
usaha
yang
mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa
tertentu
sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan
kepentingan
umum.
3.
Pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar
bersangkutan
oleh
satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan atau
jasa.
4.
Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang
berarti
di
pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku
usaha
mempunyai
posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan
kemampuan
keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan
untuk
menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
5.
Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan
hukum
atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui
perjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
6.
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan
kegiatan
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara
tidak
jujur
atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
7.
Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk
mengikatkan diri
terhadap
satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun
tidak
tertulis.
8.
Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan
oleh pelaku
usaha
dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi
kepentingan
pelaku usaha yang bersekongkol.
9.
Pasar adalah lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual baik secara
langsung
maupun
tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan atau jasa.
10.
Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah
pemasaran
tertentu
oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau
substitusi
dari
barang dan atau jasa tersebut.
11.
Struktur pasar adalah keadaan pasar yang memberikan petunjuk tentang
aspek-aspek yang
memiliki
pengaruh penting terhadap perilaku pelaku usaha dan kinerja pasar, antara lain
jumlah
penjual dan pembeli, hambatan masuk dan keluar pasar, keragaman produk, sistem
distribusi,
dan penguasaan pangsa pasar.
12.
Perilaku pasar adalah tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam
kapasitasnya sebagai
pemasok
atau pembeli barang dan atau jasa untuk mencapai tujuan perusahaan, antara lain
pencapaian
laba, pertumbuhan aset, target penjualan, dan metode persaingan yang digunakan.
13.
Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu
yang dikuasai oleh
pelaku
usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu.
14.
Harga pasar adalah harga yang dibayar dalam transaksi barang dan atau jasa
sesuai
kesepakatan
antara para pihak di pasar bersangkutan.
15.
Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik
untuk
kepentingan
diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.
16.
Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
maupun
tidak
bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan
oleh
konsumen
atau pelaku usaha.
17.
Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
diperdagangkan
dalam
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
18.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi
pelaku
usaha
dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli dan
atau
persaingan
usaha tidak sehat.
19.
Pengadilan Negeri adalah pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundangundangan
yang
berlaku, di tempat kedudukan hukum usaha pelaku usaha.
BAB
11
ASAS
DAN TUJUAN
Pasal
2
Pelaku
usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi
ekonomi
dengan
memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan
umum.
Pasal
3
Tujuan
pembentukan undang-undang ini adalah untuk:
a.
menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagal
salah satu
upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b.
mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang
sehat
sehingga
menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha
besar,
pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
c.
mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh
pelaku
usaha; dan
d.
terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
BAB
III
PERJANJIAN
YANG DILARANG
Bagian
Pertama
Oligopoli
Pasal
4
(1)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara
bersamasama
melakukan
penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2)
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan
penguasaan
produksi
dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1),
apabila
2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih
dari
75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.
Bagian
Kedua
Penetapan
Harga
Pasal
5
(1)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menetapkan
harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau
pelanggan
pada pasar bersangkutan yang sama.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalaim ayat (1) tidak
berlaku bagi:
a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha
patungan; atau
b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang
berlaku.
Pasal 6
Pelaku usaha dilarang membuat rperjanjian yang
mengakibatkan pembeli yang satu harus
membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus
dibayar oleh pembeli lain
untuk barang dan atau jasa yang sama.
Pasal 7
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku
usaha pesaingnya untuk
menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat.
Pasal 8
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku
usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak
akan menjual atau memasok
kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan
harga yang lebih rendah daripada
harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat.
Bagian
Ketiga
Pembagian
Wilayah
Pasal
9
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan
untuk
membagi
wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga
dapat
mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Bagian
Keempat
Pemboikotan
Pasal
10
(1)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang
dapat
menghalangi
pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar
dalam
negeri maupun pasar luar negeri.
(2)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk
menolak
menjual
setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut:
a.
merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau
b.
membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau
jasa
dari
pasar bersangkutan.
Bagian
Kelima
Kartel
Pasal
11
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang
bermaksud
untuk
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan
atau
jasa,
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak
sehat.
Bagian
Keenam
Trust
Pasal
12
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan
kerja sama
dengan
membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap
menjaga
dan
mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya,
yang
bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau
jasa,
sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
Bagian
Ketujuh
Oligopsoni
Pasal
13
(1)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
bertujuan untuk
secara
bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat
mengendalikan
harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat
mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2)
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian
atau
penerimaan
pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga)
pelaku
usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima
persen)
pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian
Kedelapan
Integrasi
Vertikal
Pasal
14
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk
menguasai
produksi sejumiah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau
jasa
tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahanl atau
proses
lanjutan,
baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat
mengakibatkan
terjadinya
persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.
Bagian
Kesembilan
Perjanjian
Tertutup
Pasal
15
(1)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan
bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau
tidak
memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau
pada
tempat
tertentu.
(2)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan
bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia
membeli
barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
(3)
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga
tertentu
atas
barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima
barang
dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok:
a.
harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usalia pemasok;
atau
b.
tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari peliku
usaha lain
yang
menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
Bagian
Kesepuluh
Perjanjian
Dengan Pihak Luar Negeri
Pasal
16
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luair negeri yang memuat
ketentuan
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak
sehat.
BAB
IV
KEGIATAN
YANG DILARANG
Bagian
Pertama
Monopoli
Pasal
17
(1)
Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan
atau
jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha
tidak
sehat.
(2)
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan
atau
pemasaran
barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a.
barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b.
mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha
barang
dan
atau jasa yang sama; atau
c.
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50%
(lima
puluh
persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian
Kedua
Monopsoni
Pasal
18
(1)
Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal
atas
barang
dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2)
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau
menjadi
pembeli
tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu
kelompok
pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (Iima puluh persen) pangsa pasar satu
jenis
barang atau jasa tertentu.
Bagian
Ketiga
Penguasaan
Pasar
Pasal
19
Pelaku
usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun
bersama
pelaku
usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan
usaha
tidak sehat berupa:
a.
menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan
usaha yang
sama
pada pasar bersangkutan; atau
b.
menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak
melakukan
hubungan
usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
c.
memibatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar
bersangkutan; atau
d.
melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Pasal
20
Pelaku
usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan
jual
beli
atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau
mematikan
usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Pasal
21
Pelaku
usaha dilarang melakukan kecurangan dalani menetapkan biaya produksi dan biaya
lainnya
yang
menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat
mengakibatkan
terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.
Bagian
Keempat
Persekongkolan
Pasal
22
Pelaku
usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain unuk mengatur dan atau menentukan
pemenang
tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal
23
Pelaku
usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi
kegiatan
usaha
pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat
mengakibatkan
terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.
Pasal
24
Pelaku
usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan
atau
pemasaran
barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau
jasa
yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari
jumlah,
kualitasmaupun
ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
BAB
V
POSISI
DOMINAN
Bagian
Pertama
Umum
Pasal
25
(1)
Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun
tidak
langsung
untuk :
a.
menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau
menghalangi
konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi
harga
maupun kualitas; atau
b.
membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c.
menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki
pasar
bersangkutan.
(2)
Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila:
a.
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh
persen)
atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau
b.
dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh
puluh
lima
persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian
Kedua
Jabatan
Rangkap
Pasal
26
Seseorang
yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan,
pada
waktu
yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada
perusahaan lain,
apabila
perusahaan-perusahaan tersebut:
a.
berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau
b.
memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau
c.
secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu,
yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
Bagian
Ketiga
Pemilikan
Saham
Pasal
27
Pelaku
usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang
melakukan
kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau
mendirikan
beberapa perusahaam yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar
bersangkutan
yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan:
a.
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50%
(lima puluh
persen)
pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;
b.
dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75%
(tujuh
puluh
lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian
Keempat
Penggabungan,
Peleburan, dan Peingambilalihan
Pasal
28
(1)
Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang
dapat
mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2)
Pelaku usaha dilaragg melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila
tindakan
tersebut
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha yang
dilarang
sebagaimana
dimaksud ayat (1), dan ketentuan mengenai pengambilalihan saham perusahaan
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal
29
(1)
Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 28 yang berakibat nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihi
jumlah
tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari
sejak tanggal penggabungan, peleburan atau pengambilalihan tersebut.
(2)
Ketentuan tentang penetapan nilai aset dan atau nilai penjualan serta tata cara
pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB
VI
KOMISI
PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
Bagian
Pertama
Status
Pasal
30
(1)
Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas
Persaingan
Usaha
yang selanjutnya disebut Komisi.
(2)
Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruli dan
kekuasaan
Pemerintah
serta pihak lain.
(3)
Komisi bertanggung jawab kepada Presiden.
Bagian
Kedua
Keanggotaan
Pasal
31
(1)
Komisi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua
merangkap
anggota,
dan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang anggota.
(2)
Anggota Komisi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan Dewan
Perwakilan
Rakyat.
(3)
Masa jabatan anggota Komisi adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali
untuk 1
(satu)
kali masa jabatan berikutnya.
(4)
Apabila karena berakhirnya masa jabatan akan terjadi kekosongan dalam
keanggotaan
Komisi,
maka masa jabatan anggota dapat diperpanjang sampai pengangkatan anggota baru.
Pasal
32
Persyaratan
keanggotaan Komisi adalah:
a.
warga negara Republik Indonesia, berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh)
tahun dan
setinggi-tingginya
60 (enam puluh) tahun pada saat pengangkatan;
b.
setia kepada Pancasila dan Undang-Undaing Dasar 1945;
c.
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d.
jujur, adil, dan berkelakuan baik;
e.
bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia;
f.
berpengalaman dalam bidang usaha atau mempunyai pengetahuan dan keahlian di
bidang
hukum
dan atau ekonomi;
g.
tidak pernah dipidana;
h.
tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan; dan
i.
tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha.
Pasal
33
Keanggotaan
Komisi berhenti, karena :
a.
meninggal dunia;
b.
mengundurkan diri atas pemintaan sendiri;
c.
bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia;
d. sakit
jasmani atau rohani terus menerus;
e.
berakhirnya masa jabatan keanggotaan Komisi; atau
f.
diberhentikan.
Pasal
34
(1)
Pembentukan Komisi serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya ditetapkan
dengan
Keputusan
Presiden.
(2)
Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Komisi dibantu oleh sekretariat.
(3)
Komisi dapat membentuk kelompok kerja.
(4)
Ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat dan
kelompok kerja
diatur
lebih lanjut dengan keputusan Komisi.
Bagian
Ketiga
Tugas
Pasal
35
Tugas
Komisi meliputi:
a.
melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek
monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai
dengan
Pasal 16;
b.
melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha
yaiig dapat
mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
sebagamana
diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;
c.
melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi
dominan yang
dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
sebagaimana
diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;
d.
mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal
36;
e. memberikan
saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan
praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat,
f.
menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang ini;
g.
memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan
Dewan
Perwakilan
Rakyat.
Bagian
Keempat
Wewenang
Pasal
36
Wewenang
Komisi meliputi :
a.
menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan
terjadinya
praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
b.
melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan
pelaku usaha
yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat;
c.
melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek
monopoli dan
atau
persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku
usaha
atau
yang ditentukan oleh Komisi sebagai hasil dari penelitiannya;
d.
menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak
adanya praktek
monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat;
e.
memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
ketentuaii
undang-undang
ini;
f.
memanggil dan menghasilkan saksi, saksi ahli, dan setiap oran.g yang dianggap
mengetahui
pelanggaran
terhadap ketentuan undang-undang ini;
g.
meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi akhli,
atau setiap
orang
sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan
Komisi.
h.
meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan
dan atau
pemeriksaan
terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini;
i.
mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain
guna
penyelidikan
dan atau pemeriksaan;
j.
memutuskan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau
masyarakat;
k.
memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek
monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat;
1.
menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar
ketentuan
Undang-undang ini.
Bagian
Kelima
Pembiayaan
Pasal
37
Biaya
untuk pelaksanaani tugas Komisi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan
Belanja
Negara
dan atau sumber-sumber lain yang diperbolehkan oleh peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku.
BAB VII
TATA CARA PENANGANAN PERKARA
Pasal 38
(1) Setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut
diduga telah terjadi
pelanggaran terhadap Undang-undang ini dapat melaporkan
secara tertulis kepada
Komisi dengan keterangan yang jelas tentang telah
terjadinya pelanggaran, dengan
menyertakan identitas pelapor.
(2) Pihak yang dirugikan sebagai akibat terjadinya
pelanggaran terhadap Undangundang
ini dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi dengan
keterangan yang
lengkap dan jelas tentang telah terjadinya pelanggaran
serta kerugian yang
ditimbulkan, dengan menyertakan identitas pelapor.
(3) Identitas pelapor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib dirahasiakan oleh
Komisi.
(4) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut oleh Komisi.
Pasal 39
(1) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 ayat (1) dan ayat (2),
Komisi wajib melakukan pemeriksaan pendahuluan, dan dalam
waktu selambatlambatnya
30 (tiga puluh) hari setelah menerima laporan, Komisi
wajib menetapkan
perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan.
(2) Dalam pemeriksaan lanjutan, Komisi wajib melakukan
pemeriksaan terhadap pelaku
usaha yang dilaporkan.
(3) Komisi wajib menjaga kerahasiaan informasi yang
diperoleh dari pelaku usaha yang
dikategorikan sebagai rahasia perusahaan.
(4) Apabila dipandang perlu Komisi dapat mendengar
keterangan saksi, saksi ahli, dan
atau pihak lain.
(5) Dalam melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dan ayat (4),
anggota Komisi dilengkapi dengan surat tugas.
Pasal 40
(1) Komisi dapat melakukan pemeriksaan terhadap pelaku
usaha apabila ada dugaan
terjadi pelanggaran Undang-undang ini walaupun tanpa
adanya laporan.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan tata
cara sebagaimana diatur dalam Pasal 39.
Pasal 41
(1) Pelaku usaha dan atau pihak lain yang diperiksa wajib
menyerahkan alat bukti yang
diperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksaan.
(2) Pelaku usaha dilarang menolak diperiksa, menolak
memberikan informasi yang
diperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksaan, atau
menghambat proses
penyelidikan dan atau pemeriksaan.
(3)
Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), oleh Komisi diserahkan kepada penyidik
untuk
dilakukan
penyidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal
42
Alat-alat
bukti pemeriksaan Komisi berupa:
a.
keterangan saksi,
b.
keterangan ahli,
c.
surat dan atau dokumen,
d.
petunjuk,
e.
keterangan pelaku usaha.
Pasal
43
(1)
Komisi wajib menyelesaikan pemeriksaan lanjutan selambat-lambatnya 60 (enam
puluh) hari
sejak
dilakukan pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1).
(2)
Bilamana diperlukan, jangka waktu pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud
dalam ayat
(1)
dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(3)
Komisi wajib memutuskati telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran terhadap
undangundang
ini
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak selesainya pemeriksaan
lanjutan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2).
(4)
Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus dibacakan dalam suatu
sidang
yang
dinyatakan terbuka untuk umum dan segera diberitahukan kepada pelaku usaha.
Pasal
44
(1)
Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan
putusan
Komisi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4), pelaku usaha wajib melaksanakan
putusan
tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada Komisi.
(2)
Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri
selambat-lambatnya
14
(empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
(3)
Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud
dalam
ayat (2) dianggap menerima putusan Komisi.
(4)
Apabila ketentuan sebagaimana dimksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak
dijalankan oleh
pelaku
usaha, Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan
penyidikan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5)
Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) merupakan bukti
permulaan
yang
cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
Pasal
45
(1)
Pengadilan Negeri harus memeriksa keberatan pelaku usaha sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal
44 ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keberatan
tersebut.
(2)
Pengadilan Negeri harus memberikan putusan dalaim waktu 30 (tiga puluh) hari
sejak
dimulainya
pemeriksaan keberatan tersebut.
(3)
Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud
dalam
ayat
(2), dalam waktu 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah
Agung
Republik Indonesia.
(4)
Mahkamah Agung harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
permohonan
kasasi diterima.
Pasal
46
(1)
Apabila tidak terdapat keberatan, putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43
ayat
(3) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
(2)
Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimintakan penetapan
eksekusi
kepada
Pengadilan Negeri.
0 komentar:
Post a Comment