Thursday, October 16, 2014

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Peraturan perundang-undangan perpajakan senantiasa memengaruhi perkembangan dunia bisnis dalam setiap negara. Pengaruh tersebut tentunya sangat signifikan, sehingga para eksekutif perusahaan berpendapat bahwa komponen pajak merupakan komponen yang harus mendapatkan perhatian khusus dan merupakan faktor yang menentukan lancarnya bisnis perusahaan. Bagi negara, pajak adalah salah satu sumber penerimaan yang paling penting yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Di lain pihak, bagi Wajib Pajak (WP), pajak merupakan beban yang akan mengurangi laba setelah pajak, atau nilai imbal hasil dari  investasi, ataupun arus kas perusahaan. Sehingga risiko pajak merupakan salah satu yang harus menjadi perhatian penting.
Salah satu tujuan perusahaan adalah untuk memaksimalkan kesejahteraan pemilik perusahaan dengan cara memaksimalkan nilai perusahaan dengan memeroleh laba setinggi-tingginya. Meminimalkan beban pajak merupakan salah satu cara manajemen untuk dapat memaksimalkan laba. Manajemen pajak (tax management) merujuk kepada proses merekayasa usaha dan transaksi WP pajak supaya utang pajak berada dalam jumlah yang minimal tetapi masih dalam bingkai/zona peraturan perpajakan. Namun demikian, manajemen pajak juga dapat berkonotasi positif sebagai perencanaan pemenuhan kewajiban perpajakan secara lengkap, benar/akurat dan tepat waktu sehingga dapat menghindari pemborosan sumber daya WP secara optimal.
Memahami dengan baik ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan serta perkembangan dan perubahannya adalah hal yang harus dilakukan oleh setiap Wajib Pajak. Banyak upaya yang dilakukan oleh Wajib Pajak untuk mengatur jumlah pajak yang harus dibayar. Bagi mereka pajak dianggap sebagai biaya, sehingga perlu dilakukan usaha-usaha atau strategi-strategi tertentu untuk menguranginya. Usaha-usaha atau strategi-strategi yang dilakukan tersebut dikenal dengan istilah manajemen pajak (tax management) yang meliputi fungsi perencanaan pajak (tax planning), pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation), dan pengendalian kewajiban perpajakan (tax control). Tujuan yang diharapkan dengan adanya manajemen pajak ini adalah meminimalkan pajak terutang untuk memperbesar laba tanpa melanggar aturan perpajakan.
Biasanya strategi-strategi yang dilakukan dalam manajemen pajak ini lebih pada memanfaatkan celah-celah (loop-holes) atau sering disebut juga grey-area yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Untuk itu penulis akan membahas terkait dengan “ Tindakan-tindakan Penghindaran Pajak Tetapi Tidak Melanggar Undang-undang Perpajakan ”.




1.2 Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan penghidaran pajak?
2.      Apa saja tindakan-tindakan penghindaran pajak?
3.      Apa saja celah-celah penghindaran pajak?
4.       Apa perbedaan penghindaran pajak dengan penggelapan pajak?
5.      Apa saja cara-cara penghindaran pajak?

1.3  Tujuan
 Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk :
1.      Mengetahui penghindaran pajak
2.      Mengetahui tindakan-tindakan penghindaran pajak
3.      Mengetahui celah-celah penghindaran pajak
4.      Mengetahui perbedaan penghindaran pajak dengan penggelapan pajak
5.      Mengetahui cara-cara penghindaran pajak

1.4  Metode
Penyusunan makalah ini menggunakan metode observasi dan kepustakaan, observasi yang dilakukan seperti studi pustaka dengan membaca buku-buku yang berkaitan dengan judul makalah. Dan sumber lainnya melalui informasi media komunikasi (internet) yang berhubungan dengan tema makalah.



BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Penghindaran Pajak
Dalam penjelasan Undang-unang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) telah dinyatakan bahwa pajak merupakan salah satu sarana dan hak tiap wajib pajak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan. Namun bagi pelaku bisnis pajak dianggap sebagai beban investasi. Wajar bila perusahaan/pengusaha berusaha untuk menghindari beban pajak dengan melakukan perencanaan pajak yang efektif. Menurut Arnold dan McIntyre (1995), penghindaran pajak (tax avoidance) merupakan upaya penghindaran atau penghematan pajak yang masih dalam kerangka memenuhi ketentuan perundangan (lawful fashion).
Perbuatan dengan cara sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena pajak. Biasanya dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidak jelasan undang-undang. Hal inilah yang memberikan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis. Contoh: Di Indonesia, untuk pegawai diberi tunjangan beras (in natura). Menurut undang-undang yang berlaku, hal ini tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Penghindarannya dengan cara: perusahaan bekerjasama dengan yayasan dalam penyaluran tunjangan ini. Perusahaan memberi uang kepada yayasan, dan yayasan menyalurkannya ke pegawai dalam bentuk beras. Jadi, pegawai tetap dapat beras dan hal itu dibebankan sebagai biaya sehingga pajaknya berkurang.

Dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat berbagai celah (loophole) yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan optimal dan minimum (secara keseluruhan). Optimal disini diartikan sebagai, perusahaan tidak membayar sesuatu (pajak) yang semestinya tidak harus dibayar, membayar pajak dengan jumlah yang ‘paling sedikit’ namun tetap dilakukan dengan cara yang elegan dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku.
2.2 Tindakan-tindakan Penghindaran Pajak
Setiap wajib pajak ataupun badan usaha berusaha untuk meminimalkan beban pajak dengan berbagai tindakan-tindakan tetapi tidak melanggar perundang-undangan perpajakan hal ini dilakukan masih dalam ruang lingkup yang wajar. Dalam implementasinya wajib pajak ataupun badan usaha untuk meminimalkan beban pajak yaitu dengan melakukan perencanaan pajak, perencanaan pajak yang dilakukan dalam perusahaan yaitu dengan melakukan manajemen pajak.
Ada beberapa perusahaan melakukan manajemen pajak untuk meminimalkan beban pajak dan mengutamakan keuntungan yang setinggi-tingginya diantaranya perusahaan Industri Penyedia Jasa Telekomunikasi. Manajemen pajak yang dilakukan Perusahaan Industri Penyedia Jasa Telekomunikasi yaitu PT. NT Tbk, manajemen pajak yang dilakukan PT. NT Tbk antara lain :
1.         Asumsi yang digunakan dalam menyusun proyeksi Manajemen Pajak.
Semua informasi berasal dari laporan keuangan dan laporan manajemen perusahaan pada tahun pajak 2008. Rekonsiliasi antara rugi/laba perseroan sebelum pajak penghasilan, menurut laporan keuangan konsolidasi dengan estimasi kerugian pajak/penghasilan kena pajak untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2008, 2007 dan 2006.
2.        Proyeksi Laporan Laba Rugi tanpa Manajemen Perpajakan.
Pada proyeksi laporan rugi laba tanpa Manajemen Pajak, proyeksi dilakukan dengan cara pendapatan usaha bruto dikurangi dengan beban interkoneksi dan jasa telekomunikasi yang akan menghasilkan laba kotor. Kemudian laba kotor dikurangi dengan beban usaha dan beban penghasilan lain-lain menghasilkan laba bersih yang belum dilakukan penyesuaian fiskal.
Penyesuaian fiskal mengacu pada peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, dilakukan untuk mendapatkan penghasilan kena pajak dan pajak terutang. Untuk melakukan penyesuaian fiskal terdapat 2 perbedaan yaitu beda tetap dan beda waktu. Beda tetap terjadi karena ada biaya yang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku tidak boleh menjadi pengurang penghasilan bruto (non-deductible expenses). Dalam hal ini, PT. NT tidak memiliki perbedaan tetap. Beda waktu terjadi karena adanya perbedaan perlakuan akuntansi dan perlakuan perpajakan terhadap beban penyusutan perusahaan, yaitu selisih antara beban penyusutan aktiva tetap komersial dan fiskal. Menurut aturan perpajakan terjadi beda waktu untuk penyusutan sebesar Rp 646.440 juta untuk tahun pajak 2008 dan Rp 1.000.276 juta untuk tahun pajak 2007. Setelah dilakukan penyesuaian fiskal, maka akan dibukukan laba kena pajak. Langkah terakhir yang harus dilakukan yaitu mengurangkan laba bersih sebelum penyesuaian fiskal dengan pajak yang harus dibayar sehingga menghasilkan laba bersih setelah pajak.

3.        Penerapan Manajemen Perpajakan atas Beban Penyusutan.
Pada proyeksi laporan laba-rugi dengan Manajemen Pajak, proyeksi dilakukan sama dengan yang dilakukan pada proyeksi tanpa manajemen yaitu pendapatan usaha bruto dikurangi dengan beban interkoneksi dan jasa telekomunikasi menghasilkan laba kotor. Kemudian laba kotor dikurangi dengan beban usaha dan beban penghasilan lain-lain menghasilkan laba bersih yang belum dilakukan penyesuaian fiskal. Selanjutnya dilakukan penyesuaian fiskal untuk mendapatkan laba kena pajak dan pajak terutang. Untuk melakukan penyesuaian fiskal terdapat 2 perbedaan yaitu Timing Difference (Beda Waktu dan Permanent Difference (Beda Tetap). Beda Waktu terjadi karena perbedaan perlakuan akuntansi dan perlakuan perpajakan atas penyusutan serta perubahan metode akuntansi. Menurut aturan perpajakan terjadi beda waktu untuk penyusutan sebesar Rp 646.440 juta. Beda waktu yang terjadi juga dikarenakan adanya perubahan metode penyusutan. Dari segi pajak, metode penyusutan yang semula menggunakan metode garis lurus diubah menjadi metode saldo menurun, tetapi dari segi perusahaan tetap menggunakan metode garis lurus. Setelah dilakukan penyesuaian fiskal akan diperoleh laba kena pajak, kemudian selanjutnya langkah terakhir yang harus dilakukan yaitu mengurangkan laba bersih sebelum koreksi fiskal dengan pajak yang harus dibayar sehingga menghasilkan laba bersih setelah pajak.
Perhitungan beban pajak dengan penerapan manajemen pajak adalah sebagai berikut:


Besarnya penghematan pajak adalah :
Sebelum Tax planning= Rp (75.209) juta
Setelah Tax Planning = Rp (571.231) juta
Penghematan Pajak = Rp (646.440) juta
Selain itu manajemen pajak juga dapat dilakukan dengan mengubah metode penyusutan dan amortisasi yang selama ini digunakan oleh perusahaan garis lurus menjadi metode penyusutan saldo menurun. Seperti halnya pada tahun pajak 2008 perusahaan membeli peralatan jaringan dan non jaringan seharga Rp 10.844.943 juta. Metode penyusutan yang dipakai oleh perusahaan adalah metode garis lurus selama 8 tahun (kelompok 2), tetapi untuk menerapkan manajemem perpajakan agar bisa dihemat beban pajak, maka metode ini harus diganti menjadi metode saldo menurun selama 8 tahun. Jika perubahan metode penyusutan tersebut dilakukan, maka PT NT selama delapan tahun ke depan akan mendapatkan penghematan pajak dari Beban Penyusutan atas pembelian peralatan. di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan metode penyusutan dari garis lurus menjadi saldo menurun mengakibatkan terjadi selisih present value pengakuan beban penyusutan atas pengadaan peralatan jaringan sebesar Rp 735.660 juta (=7.469.881 juta – 6.734.221 juta). Dari selisih pengakuan beban penyusutan ini, maka dalam periode 8 tahun, PT NT bisa menghemat pembayaran PPh Badan sebesar Rp 220.698 juta (tarif pajak dikalikan selisih present value beban penyusutan). Atau kalau kita rata-rata, maka penghematan pajak per-tahun sebesar Rp 27.587 juta. Dengan kata lain, beda waktu esensinya dengan berlalunya waktu perbedaan itu akan menjadi nol (nihil), sedangkan beda tetap selamanya perbedaan antara fiscal dan komersial (perusahaan) senantiasa ada.
4.        Manajemen Pajak atas Pos-Pos Pada Laporan Laba Rugi.
Prinsip utama manajemen pajak adalah bagaiamana membayar pajak seminimal mungkin dan selambat mungkin (tanpa harus melanggar peraturan perpajakan yang berlaku). Dengan melihat pos-pos yang terdapat pada laporan laba rugi, terdapat dua cara untuk dapat membayar pajak seminimal mungkin dengan yaitu:
1. Memaksimalkan pengakuan beban sehingga mengurangi penghasilan kena
pajak dengan cara mengubah non-deductible expense menjadi deductible expense.
1. Minimalkan pengakuan pendapatan, terutama pendapatan dari luar usaha dengan cara mengubah transaksi menjadi yang tidak dikenakan pajak.
Seperti yang terlihat dari tabel 4.1. diketahui bahwa terdapat pos-pos pada laporan laba rugi PT NT yang mengalami penyesuaian fiskal yaitu meliputi:
1. Selisih antara penyusutan dan amortisasi komersial dan fiskal.
2. Selisih antara laba/(rugi) aset tetap komersial dan fiskal.
3. Penyisihan imbalan kerja.
4. Penyisihan piutang ragu-ragu.
5. Penyisihan gaji dan kesejahteraan karyawan.
Dari kelima post tersebut di atas terdapat tiga pos yang mengalami penyesuaian fiskal positif yaitu laba aset sebesar Rp 11.656 juta, penyisihan imbalan kerja sebesar Rp 34.684 juta, dan Rp 17.549 juta. Dikarenakan adanya pos yang mengalami penyesuaian fiskal ini, perusahaan akan mengalami peningkatan beban PPh Badan menjadi Rp 19.167 juta (30% x jumlah penyesuaian fiskal positif tersebut). Untuk itu sangat penting bagi perusahaan agar penyesuaian fiskal tersebut jangan sampai terjadi.
Permasalahan penyesuaian fiskal positif atas penyusutan aktiva tetap telah dibahas di sub-bab terdahulu. Sedangkan penyesuaian fiskal atas laba penjualan aktiva tetap tidak dapat dikelola melalui manajemen pajak karena hal tersebut merupakan laba atas penjualan aktiva tetap perusahaan yang memang menurut undang-undang perpajakan yang berlaku harus diakui sebagai penambah penghasilan. Untuk penyesuaian fiskal atas imbalan paska kerja memang harus dibayarkan kepada mantan pegawai, sehingga tidak dapat dilakukan penyesuaian fiskal lagi. Untuk piutang ragu-ragu karena merupakan penyesuaian fiskal negatif tentunya memang akan menjadi pengurang beban pajak sehingga tidak perlu diubah. Yang paling mudah dikelola adalah pos penyesuaian fiskal atas penyisihan gaji dan kesejahteraan karyawan yang merupakan penyesuaian positif yang akan berdampak pada bertambahnya beban pajak. Sehingga dengan pengelolaan pos gaji dan kesejahteraan karyawan diharapkan beban pajak menjadi berkurang (terjadi penghematan PPh Badan).
Penyisihan gaji dan kesejahteraan karyawan ini meliputi pos-pos pemberian benefit kepada karyawan dalam bentuk natura. Natura adalah benefit yang diterima karyawan tidak dalam bentuk uang kas. Karena natura ini tidak dikenakan PPh pasal 21 di pihak karyawan maka oleh perusahaan tidak dapat diakui sebagai beban (prinsip taxibilty and deductibility). Natura kepada karyawan dapat berupa:
1. PPh pasal 21 ditanggung perusahaan
2. Pemberian fasilitas mobil dinas yang dibawa pulang karyawwan atau rumah dinas bagi karyawan
3. Familly Gathering
4. dan natura lainnya.
Untuk mengelola pos ini, perusahaan bisa melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. PPh pasal 21 diberi tunjangan dengan metode gross-up
2. Pemberian fasilitas mobil dapat di-pool di kantor sehingga atas biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan operasional mobil tersebut dapat diakui sebagai biaya.
3. Familly gathering sebaiknya dibungkus dalam bentuk pelatihan, misalnya pelatihan seperti out-bond. Karena pelatihan dalam rangka meningkatkan kinerja dan produktivitas karyawan pada prinsipnya dapat diakui sebagai beban dalam laporan keuangan fiskal
4. Dan lain-lain mengubah semua natura menjadi tunjangan atau pemberian benefit kepada karyawan dalam bentuk uang atau bentuk lain yang berhubungan dengan produktivitas perusahaan.
Pengubahan semua hal tersebut di atas akan membuat perusahan mampu menghemat PPh Badan Tahun 2008 sebesar Rp 5.265 juta (=30% x 17.549 juta). Sedangkan untuk tahun Pajak 2007 perusahaan bisa menghemat Rp 18.080 juta (=30% x 60.267 juta).
2.3 Celah-celah Penghindaran Pajak
Tax Avoidance (Penghindaran Pajak) merupakan usaha meminimalkan biaya pajak yang masih dalam koridor Undang-Undang dan peraturan yang berlaku. Biasanya penghindar pajak menggunakan celah-celah dari undang-undang yang belum mengaturnya. Salah satu cara melakukan Tax Avoidance yang populer saat ini adalah dengan menggunakan instrumen keuangan. Karena belum adanya peraturan perpajakan Indonesia yang baku dalam mengatur transaksi instrumen keuangan  tersebut, kita dapat mengintepretasikan pengakuan laba/rugi maupun utang/modal sesuai  pertimbangan manajemen. Transaksi yang dimaksud antara lain adalah:
1. Transaksi Derivatif di luar Bursa
            Instrumen derivatif adalah instrumen keuangan yang nilainya tergantung pada instrumen keuangan lain (underlying asset), motifnya dapat untuk jaga-jaga atau lindung nilai yaitu untuk menghindari fluktuasi harag instrumen keuangan yang dilindungi (underlying asset) namun bisa juga untuk spekulasi (tidak ada motif untuk melindungi  underlying asset). Misalnya option untuk menjual saham, pada tanggal tertentu di masa depan, pemilik option senilai berhak Rp.50/lembar untuk membeli saham pada Rp. 1000/lembar. Maka bila harga saham di bawah Rp. 1000, pemilik option akan merugi Rp.0 karena penurunan harga saham di-offset dengan kenaikan harga option. Contoh lain misalnya interest swap atas bunga obligasi, selisih antara floating rate dan fixed rate akan mempengaruhi nilai swap contract. Hal ini menjadi sangat berbahaya bila instrumen derivatif digunakan untuk spekulasi sehingga tidak terdapat underlying asset yang meng-offset kerugiannya.
Celah penghindaran pajak dapat dilakukan dengan mengakui rugi derivatif untuk spekulasi saat belum terealisasi dan hanya mengakui laba saat terealisasi dengan dalil asas konservatif dalam accounting. Karena tidak terdapat underlying assetyang meng-offset kerugiannya, kerugian yang dihasilkan sangat besar sekali.
PSAK NO. 55 pada umumnya menggunakan metode mark-to-market (penyesuaian laba rugi atas fluktuasi harga pasar sebelum realisasi) namun menyerahkan sepenuhnya kepada keputusan manajemen. Sedangkan dalam peraturan pajak PP No. 51 tahun 2008, PPh final hanya peruntukkan untuk transaksi dalam bursa, hal ini justru memukul bursa derivatif dan untuk transaksi di luar bursa tetap dapat menggunakan celah penghindaran pajak ini.
2. Transaksi Saham di luar Bursa
PSAK No. 13 menggolongkan investasi saham menjadi 3:
1.         Trading (Digunakan untuk jual beli, dimiliki dalam jangka kurang dari 1 tahun): mark-to-market (laba rugi atas penyesuaian harga pasar sebelum realisasi)
2.         Available-to-sale (Digunakan untuk jual beli, dimiliki dalam jangka lebih dari 1 tahun): memakai asas konservatif, rugi diakui mark-to-market, laba diakui saat realisasi.
3.         Hold-to-maturity (Investasi dipertahankan sampai periode umurnya): tidak ada penyesuaian harga pasar, investasi dicatat sesuai harga.
Walaupun terdapat pengelompokkan ini namun PSAK No. 13 menyerahkan keputusan manajemen yang lebih mengetahui strategi perusahaan. Celah penghindaran pajak dapat dilakukan dengan dengan mengakui saham sebagai saham available-to-sale. Rugi saham saat belum terealisasi saat belum terealisasi dan hanya mengakui laba saat terealisasi. Dalam peraturan pajak (PP No.  41 Thn 1994 jo PP No. 14 Thn 1997), PPh final hanya diperuntukkan untuk transaksi dalam bursa efek, sehingga untuk transaksi di luar bursa tetap dapat menggunakan celah penghindaran pajak ini.
3. Pendanaan melalui Hybird Instrument
            Hybird Instrument adalah investasi keuangan yang bentuknya dapat dikategorikan baik sebagai modal (ekuitas) ataupun utang Contohnya: Convertible bond (obligasi yang pada akhir periode jatuh tempo dapat diubah menjadi saham), Dana Syirkah Bagi Hasil (utang dengan balas jasa deviden-bagian dari profit dan ada kontrol terhadap manajemen, PSAK No. 101 tidak menggolongkannya sebagai modal ataupun utang). Hal ini menjadi penting karena terdapat perbedaan perlakuan pemajakan antara utang dan modal. Imbalan dari investasi utang yaitu berupa bunga dapat dibiayakan oleh debitur. Sedangkan imbalan dari investasi modal berupa deviden tidak dapat dibiayakan oleh penerbit saham. Investasi modal pun dapat berpotensi menimbulkan efek pajak dari peraturan koreksi transaksi antar pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa.
Celah penghindaran pajak dapat dilakukan dengan menyuntikkan dana bagi anak perusahaan dengan convertible bond dimana beban bunga dapat dibiayakan sampai akhir periode jatuh tempo. Atau membiayakan balas jasa bagi hasil dana syirkah sebagimana pembebanan bunga. Belum ada batasan jelas dalam peraturan perpajakan Indonesia tentang penggolongan utang dan modal.
4. Pendanaan melalui Back to Back Loan
Pendanaan melalui Back to Back Loan dilakukan dengan menjaminkan hutang anak perusahaan pada pihak ketiga untuk menghindari ketentuan DER (debt-equity-ratio) bagi hubungan istimewa seperti yang diatur UU PPh pasal 18 ayat 1. Namun pada hakikatnya transaksi itu dapat dilakukan langsung oleh induk perusahaan dengan langsung memberi utang kepada anak perusahaannya tanpa pihak ketiga. Dengan terhindarnya ketentuan DER, anak perusahaan dapat membiayakan bunga secara penuh yang akhirnya menurunkan laba kena pajak.


2.4 Perbedaan Penghindaran Pajak dengan Penggelapan Pajak
Suatu perencanaan pajak atau disebut juga penghindaran pajak,harus dengan jelas dibedakan dengan penyelundupan/penggelapan pajak. Antara penghindaran pajak dan penyelundupan pajak mempunyai perbedaan yang fundamental, namun kemudian perbedaan tersebut menjadi kabur baik secara teori maupun aplikasinya.Walaupun pada dasarnya antara penghindaran pajak dan penyelundupan pajak mempunyai sasaran yang sama yaitu mengurangi beban pajak, namun berdasarkan konsep perundang-undangan, garis pemisah yang jelas adalah antara melanggar undang-undang (unlawful) dan tidak melanggar undang-undang (lawful).
Perencanaan  pajak  sesungguhnya  merupakan  tindakan  penstrukturan  yang terkait dengan konsekuensi potensi pajaknya, yang tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat mengefisienkan jumlah pajak yang akan dibayarkan kepada negara dengan cara penghindaran pajak dan bukan penyelundupan pajak. Penghindaran pajak adalah suatu tindakan yang legal, dimana tidak ada suatu pelanggaran hukum dan akan diperoleh penghematan pajak dengan cara mengendalikan tindakan agar terhindar dari konsekuensi pengenaan pajak yang tidak dikehendaki. Sedangkan penyelundupan pajak merupakan tindakan ilegal yangmelanggar perundang-undangan perpajakan dimana bila hal tersebut dilakukan, Wajib Pajak akan dikenai sanksi perpajakan.          
Ada  beberapa  pendapat  para  ahli  yang  membedakan  definisi  antara penghindaran pajak dan penyelundupan pajak, antara lain :
1.      James dan Prest yang diterjemahkan oleh Zain (2003) mendefinisikan, Penyelundupan pajak mengandung arti sebagai manipulasi secara ilegal atas penghasilannya  untuk  memperkecil  jumlah  pajak  yang  terutang, sedangkan penghindaran pajak diartikan sebagai manipulasi penghasilannya secara  legal yang masih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakanuntuk memperkecil jumlah pajak yang terutang.
2.      Anderson  yang  diterjemahkan  oleh  Zain  (2003)  mendefinisikan, Penyelundupan pajak adalah penyelundupan pajak yang melanggar undang-undang pajak,sedangkan penghindaran pajak adalah cara mengurangi pajak yang masih dalam batas ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dapat dibenarkan, terutama melalui perencanaan pajak.
2.5  Cara-cara Penghindaran Pajak
Penghindaran pajak dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
1.        Menahan Diri
Yang dimaksud dengan menahan diri yaitu wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai pajak. Contoh:
1.      Tidak merokok agar terhindar dari cukai tembakau.
2.      Tidak menggunakan ikat pinggang dari kulit ular atau buaya agar terhindar dari pajak atas pemakaian barang tersebut. Sebagai gantinya, menggunakan ikat pinggang dari plastik.
Secara moral, hal ini tidak tercela karena tidak ada orang yang akan menganggap perbuatan seorang perokok yang mengurangi kebiasaan merokoknya sebagai orang yang menghindari pajak. Malah, orang yang mengurangi, atau malah tidak merokok sama sekali dianggap sebagai tindakan terpuji.


2.        Pindah Lokasi
Memindahkan lokasi usaha atau domisili dari lokasi yang tarif pajaknya tinggi ke lokasi yang tarif pajaknya rendah. Contoh: Di Indonesia, diberikan keringanan bagi investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia Timur. Namun, pindah lokasi tidak semudah itu dilakukan oleh wajib pajak. Mereka harus memikirkan tentang transportasi, akomodasi, SDM, SDA, serta fasilitas-fasilitar yang menunjang usaha mereka. Hal ini harus sesuai dengan kentungan yang akan mereka dapatkan dan keringanan pajak yang mereka peroleh. Biasanya, hal ini jarang terjadi. Yang terjadi hanya pada pengusaha yang baru membuka usaha, atau perusahaan yang akan membuka cabang baru. Mereka membuka cabang baru di tempat yang tarif pajaknya lebih rendah.
Hal ini tidak tercela karena merupakan hak asasi setiap orang untuk memilih tempat atau lokasi usaha/domisilinya.
3.        Penghindaran Pajak Secara Yuridis
Perbuatan dengan cara sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena pajak. Biasanya dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidak jelasan undang-undang. Hal inilah yang memberikan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis. Contoh: Di Indonesia, untuk pegawai diberi tunjangan beras (in natura). Menurut undang-undang yang berlaku, hal ini tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Penghindarannya dengan cara: perusahaan bekerjasama dengan yayasan dalam penyaluran tunjangan ini. Perusahaan memberi uang kepada yayasan, dan yayasan menyalurkannya ke pegawai dalam bentuk beras. Jadi, pegawai tetap dapat beras dan hal itu dibebankan sebagai biaya sehingga pajaknya berkurang.
Dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat berbagai celah (loophole) yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan optimal dan minimum (secara keseluruhan). Optimal disini diartikan sebagai, perusahaan tidak membayar sesuatu (pajak) yang semestinya tidak harus dibayar, membayar pajak dengan jumlah yang ‘paling sedikit’ namun tetap dilakukan dengan cara yang elegan dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku.
Selain itu, juga terdapat Celah undang-undang yang merupakan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis. Suatu undang-undang dirumuskan tidak jelas karena: Kesengajaan pembuat undang-undang.
Hal ini terjadi karena latar belakang pembuat undang-undang tersebut adalah pemerintah dan parlemen, di mana parlemen mewakili berbagai kepentingan yang berbeda dan bisa saling bertolak belakang antara satu dan yang lainnya. Dua kepentingan yang paling dominan di parlemen adalah anggota parlemen yang mewakili kelompok buruh dan pemilik modal. Apabila diajukan undang-undang yang menyinggung dua p;ihak tersebut, diusahakan dicarikan jalan kompromi terhadap substansi masalahnya. Namun ini sulit dilakukan kaena menyangkut kepentingan yang berbeda. Lalu dicarilah jalan kompromi terhadap perumusan yang bisa diterima oleh semua pihak. Masing-masing pihak bebas menafsirkan undang-undang tersebut sesuai dengan kepentingan masing-masing pihak. Pada akhirnya, undang-undang tersebut mengambang. Bisa saja wajib pajak menafsirkan sesuai kepentingannya dan fiscus menafsirkan sesuai dengan kepentingan negara.


BAB 3
SIMPULAN

3.1  Simpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :
Bahwa tindakan-tindakan penghindaran pajak dapat dilakukan oleh wajib pajak perorangan maupun badan usaha untuk mengurangi atau meminimalkan beban pajak yang bersangkutan. Penghindaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak ataupun badan usaha masih dalam ruang lingkup yang wajar dan tidak melanggar perundang-undangan perpajakan yang berlaku atau bisa disebut juga legal/sah.
Penghindaran pajak dengan penyelundupan pajak sangat berbeda walaupun memiliki sasaran yang sama yaitu untuk mengurangi beban pajak. Namun berdasarkan konsep perundang-undangan, garis pemisah yang jelas adalah antara melanggar undang-undang (unlawful) dan tidak melanggar undang-undang (lawful).
Terdapat beberapa tindakan-tindakan dalam penghindaran pajak yang dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi beban pajak. Dalam kasus ini wajib pajak ataupun badan usaha sering memanfaatkan celah-celah perundang-undangan yang berlaku atau bisa disebut juga loop-holes. Hal ini terjadi karena adanya kesenjangan perundang-undangan yang dapat dimanfaatkan oleh pihak wajib pajak untuk mengurangi beban pajak yang bersangkutan.


2 comments:

  1. TERIMAKASIH, SANGAT MEMBANTU.HANYA SAJA SUMBERNYA TIDAK TERCANTUM.

    ReplyDelete
  2. Maaf, bisa tau sumbernya dari mana ?

    ReplyDelete