Friday, October 17, 2014

MAKALAH AHLAK EKONOMI

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Persaingan ekonomi di era globalisasi ini semakin mendorong setiap individu untuk terus meningkatkan tarap hidup mereka. Mereka semakin dibutakan oleh keinginan untuk mencapai suatu kemakmuran sehingga mereka tidak jarang melakukan berbagai cara untuk meningkatkan tarap hidup (ekonomi) atau bahkan hanya dengan tujuan memperkaya atau menambah kekayaan yang ada, meskipun untuk mendapatkannya mereka tidak jarang melakukan berbagai tindakan yang menyimpang khususnya di dalam perekonomian (korupsi, spekulasi dan riswah) yang jelas-jelas sangat bertentangan baik dengan norma agama maupun norma-norma yang ada dalam hukum di masyarakat.
Hal ini menyebabkan kasus-kasus seperti korupsi, spekulasi dan riswah menjadi suatu wacana yang kian hari semakin hangat untuk dibicarakan dan tindak penyelesaianpun menjadi suatu hal yang sangat lamban bahkan sulit untuk dilaksanakan, dikarenakan masih adanya kekebalan hukum bagi pihak-pihak tertentu, serta masih sangat kurangnya kesadaran individu untuk menghilangkan kebiasaan-kebiasaan buruk di masyarakat tersebut, yang secara tidak langsung merugikan kepentingan orang banyak.



1.2  Rumusan masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan korupsi, spekulasi dan riswah ?
2.      Apa yang membuat korupsi, spekulasi dan riswah semakin merajalela ?
3.      Bagaimana penjabarannya serta hukum dan dalil Al-qur’an yang melarang perbuatan tersebut ?
1.3  Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui ahlak-ahlak ekonomi dan memahami pengertian-pengertian tentang korupsi, spekulasi dan riswah, serta untuk mengetahui hukum/ norma yang melarang perbuatan tersebut, baik secara norma-norma hukum maupun norma-norma agama yang berlaku di masyarakat, serta menambah pengetahuan tentang ahlak-ahlak mana saja yang baik dan yang buruk terhadap kehidupan masyarakat dalam ruang lingkup ekonomi.
1.4  Kegunaan    
Kegunaan penyusunan makalah ini sebagai bahan pembelajaran dan pengetahuan tentang ahlak-ahlak ekonomi yang meliputi korupsi, spekulasi dan riswah dan semoga bermanfaat bagi pembaca.
1.5  Metode
Penyusunan makalah ini menggunakan metode observasi dan kepustakaan, obsevasi yang dilakukan seperti studi pustaka dengan membaca buku-buku yang berkaitan dengan judul makalah. Dan sumber lainnya melalui informasi media komunikasi (internet) yang berhubungan dengan tema makalah.


BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Korupsi
a). Pengertian
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harfiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas/kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
v  perbuatan melawan hukum.
v  penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana.
v  memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
v  merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:
v  memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan).
v  penggelapan dalam jabatan.
v  pemerasan dalam jabatan.
v  ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
v  menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Korupsi bisa terjadi apabila karena faktor-faktor sebagai berikut :
v  Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
v  Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
v  Kolonialisme.
v  Kurangnya pendidikan.
v  Kemiskinan.
v  Tiadanya hukuman yang keras.
v  Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
v  Struktur pemerintahan.
v  Perubahan radikal.
v  Keadaan masyarakat
b). Korupsi Menurut Islam
Adapun pengertian yang termasuk ke dalam makna korupsi dalam fiqih islam adalah pencurian, penggunaan hak orang lain tanpa izin, penyelewengan harta negara (ghanimah), suap, khianat, perampasan.
Ayat-ayat al-Qur’an yang terkait:
Surat Al-Maidah : 33 dan 38
Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar” (al-Maidah: 33)
Artinya: “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (al-Maidah: 38)
Surat Al-Kahfi : 79
Artinya: “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.”
Surat Al-Baqarah: 188
Artinya : Janganlah kalian memakan harta diantara kalian dengan jalan yang batil dengan cara mencari pembenarannya kepada hakim-hakim, agar kalian dapat memakan harta orang lain dengan cara dosa sedangkan kalian mengetahuinya.”
Surat ali imran: 161
Artinya: “Tidaklah pantas bagi seorang Nabi untuk berlaku ghulul (khianat), barang siapa yang berlaku ghulul maka akan dihadapkan kepadanya apa yang dikhianati dan akan dibalas perbuatannya dan mereka tidak akan dizhalimi.”
Pokok permasalahan yang dibahas pada ayat-ayat diatas adalah larangan memakan harta orang lain yang bukan haknya secara umum dengan jalan batil, apalagi dengan jalan membawa ke depan hakim, sedangkan sudah jelas harta yang diambil tersebut adalah milik orang lain. Korupsi adalah salah satu bentuk pengambilan harta milik orang lain yang bersifat khusus. Dan jika kita perhatikan beberapa dalil al-Qur’an di atas adalah cocok untuk memasukkan korupsi sebagai salah satu bentuk khusus pengambilan harta orang lain, karena korupsi sangat merugikan banyak orang.
Selanjutnya pada surat Ali Imran ayat 161 lebih spesifik disebutkan tentang ghulul yang bermakna khianat. Maksudnya mengkhianati kepercayaan yang diberikan oleh Allah SWT dan manusia, terutama dalam pengurusan dan pemanfaatan harta ghonimah.
Ayat ini merupakan sebuah peringatan untuk menghindarkan diri dari pengkhianatan amanat dalam segala bentuknya. Ayat ini secara spesifik memang hanya membahas tentang penyalahgunaan harta bersama untuk dikuasai sendiri, akan tetapi ini akan menjelaskan bagaimana seseorang tidak boleh berlaku khianat atau menyelewengkan harta tersebut. Sesuai dengan salah satu makna dari kata korupsi bahwa pekerjaan ini termasuk penggelapan terhadap harta orang lain atau masyarakat.
Apakah yang menjadi alasan dari penganologian korupsi dengan kata ghulul yang memliki arti khianat yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an di atas?
Ada beberapa pendapat tentang alasan-alasan penganalogian korupsi dengan ayat-ayat al-Qur’an di atas, yaitu:
Korupsi merupakan suatu bentuk penyalahgunaan harta, baik itu harta negara, perusahaan, maupun masyarakat. Ghulul juga merupakan penyalahgunaan harta negara, karena pada zaman Rasulullah saw. pemasukan harta negara adalah ghonimah. Akan tetapi pada saat ini permasalahan uang negara berkembang tidak hanya pada ghonimah (pemasukan), melainkan pada semua bentuk uang negara.
Korupsi dilakukan oleh salah seorang pemegang kekuasaan atau jabatan yang terkait, demian juga dengan ghulul yang merupakan penghianatan jabatan oleh pejabat yang terkait.
Selanjutnya, secara khusus disebutkan dalam surat al-Maidah ayat 33 dan 38 tentang hirobah dan suroqoh. Ayat yang pertama menjelaskan tentang pengambilan harta orang lain secara terang-terangan yang bisa disertai dengan kekerasan, atau dengan cara melakukan perusakan di muka bumi. Sedangkan yang kedua yaitu menjelaskan tentang pengambilan harta orang lain dengan cara diam-diam atau mencuri.
Kalau dicermati secara seksama ayat-ayat di atas, secara khusus korupsi lebih identik dengan pencurian atau suroqoh. Korupsi memberikan dampak negative yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat. Dan  jika lihat kasus-kasus yang saat ini banyak terjadi di Indonesia, korupsi tidak hanya merugikan satu atau dua orang, akan tetapi korupsi telah menjadi ancaman yang sangat serius untuk kestabilan, keamanan dan kesejahteraan perekonomian dan social semua lapisan masyarakat.
Dalam surat al-Kahfi ayat 79, yang termasuk kategori korupsi adalah ghosob. Pengertian ghosob dalam ayat di atas adalah menguasai harta orang lain dengan pemaksaan atau dengan jalan yang tidak benar. Alasan penganalogian korupsi pada ghosob adalah adanya unsur memperkaya diri atau pribadinya dengan menggunakan hak-hak rakyatnya dengan jalan yang tidak benar.
c). Korupsi Menurut Undang-undang
Korupsi dapat dilihat berdasarkan UU NO. 3 Tahun 1971, yaitu UU Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Semua tindak penyelewengan dan tindak korupsi yang dilakukan oleh aparat dan pengabdi rakyat, oleh pejabat/pegawai negeri merupakan perbuatan yang melanggar hukum yang tercantum dalam UU NO. 3 Tahun 1971 dan setiap yang melanggar UU tersebut akan diberi sanksi tegas berdasarkan norma-norma yang berlaku. Dapat diketahui dari bunyi pasal 1 UU No. 3 Tahun 1971. Dalam pasal 1 ini disebutkan bahwa :
v  Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri atau orang lain…….dan seterusnya.
v  Barang siapa melkukan kejahatan tercantum dalam pasal-pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 KUHP.
v  Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan/sesuatu kewenangan yang melekat pada jabatannya/kedudukannya, oleh si pemberi hadiah/janji dianggap melekat pada jabatan dan kedudukannya.
v  Barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam yang sesingkat-singkatnya……..dan seterusnya.
v  Barang siapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a,b,c,d,e, pasal ini.
Dari pasal yang dikutip diatas, terutama yang dikutip lengkap, yaitu pasal (1) c, pasal-pasal dalam KUHP seperti yang disebut diatas (khususnya pasal 209 KUHP) dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Sedangkan pada pasl 1 ayat (1) disusun untuk mengisi kekosongan, karena dalam KUHP tidak diancam dengan hukuman orang-orang yang memberi hadiah kepada aparat/pejabat seperti yang dimaksud dalam pasal-pasal UU tersebut.


2.2 Spekulasi
a). Pengertian
Kata “spekulasi” berasal dari bahasa latin speculate yang merupakan bentuk kalimat lampau dari speculari yang artinya “melihat kedepan, mengamati, dan menela'ah”. Kata speculari itu sendiri merupakan turunan dari kata specula, yang berasal dari specere yang artinya “untuk melihat”, yang merupakan serdadu Roma yang bertugas mengawasi perkampungan serdadu yang disebut castrum. Dalam kata ini ditemukan persamaan etimologis dari kalimat kontemporer yang menunjukkan pada suatu aktifitas "memandang dari jauh" diangkasa dan juga didalam waktu. Dari “specula” inilah asal kata dalam bahasa latin “speculatio, speculationis” suatu aktifitas penyelidikan filosofi. Kalimat ini masih digunakan saat ini dalam dunia filosufi sebagai suatu kegiatan berteori tanpa didukung dengan suatu dasar fakta yang kuat sebagaimana halnya dalam dunia keuangan modern, dimana seorang speculator melaksanakan suatu transaksinya dengan tanpa didukung oleh suatu transaksinya dengan dasar statistik.
Salah satu bentuk spekulasi ialah usaha penimbunan, atau menahan barang/jasa dari peredarannya untuk tujuan menaikan harga dan mengacaukan ekonomi. Islam mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari peredarannya. Islam mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang sangat pedih kelak hari kiamat. Ancaman itu dituangkan dalam nash-nash yang tegas dalam Al-Qur’an, firman Allah dalam surat (Q.S. At-Taubah (9) : 34-35)
Artinya : Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskannya emas perak itu dalam neraka jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan kepada mereka):” Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. (Q.S. At-Taubah (9) : 34-35)
Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya dan menjauhkannya dari peredaran, agar barang menjadi langka sehingga harga naik. Penimbunan harta berbahaya terhadap perekonomian, sebab sekiranya harta itu tidak disimpan dan tidak ditahan, tentu ia ikut andil dalam usaha-usaha produktif, seperti andilnya dalam merencanakan produksi.
Kesempatan-kesempatan ini membawa bertambahnya pendapatan, dan pendapatan akhirnya menyebabkan meningkatnya daya beli dalam masyarakat, yakni hal yang mendorong meningkatnya produksi, baik itu dengan membuat rencana-rencana yang telah ada. Sekalipun islam memberikan kebebasan kepada setiap orang dalam menjual, membeli dan memenuhi kebutuhannya tetapi islam menentang dengan keras sifat ananiyah (egois) yang mendorong sementara orang akan ketamakan pribadi untuk memupuk kekayaan atas biaya orang lain dan memperkaya diri sendiri.
Untuk itu Rasulullah SAW, melarang menimbun dengan ungkapan yang sangat keras. Sabda Rasul : “Barang siapa menimbun bahan makanan selama empat puluh malam maka sesungguhnya Allah tidak lagi perlu kepadanya”. (Riwayat Ahmad, Hakim, Ibnu Abi Syaibah dan Bazzar) dan sabdanya pula : “Tidak akan menimbun kecuali khaitun (orang yang berbuat dosa)” (Riwayat Muslim). Para ulama beristimbath (menetapkan suatu hukum), bahwa diharamkannya menimbun adalah dengan dua syarat :
1.      Dilakukan di suatu negara dimana penduduk negara itu akan menderita sebab adanya penimbunan.
2.      Dengan maksud untuk menaikan harga sehingga orang-orang merasa lelah, supaya dia memperoleh keuntungan yang berlipat ganda.
2.3. Risywah
a). Pengertian
v  Secara Istilah (kamus Bahasa Indonesia) adalah memberi uang dan sebagainya kepada petugas (pegawai), dengan harapan mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan.
v   Secara Istilah dalam islam disebut Ar-Risywah, Menurut Al-Mula Ali Al-Qari rahimahullah(lihat Al-Mirqah Syarhul Misykat: 11/390), “Ar-Risywah (suap) adalah sesuatu yang diberikan untuk menggagalkan perkara yang benar atau mewujudkan perkara yang bathil (tidak benar).”
b). Hukum risywah
Dari definisi di atas ada dua sisi yang saling terkait dalam masalah risywah; Ar-Rasyi (penyuap) dan Al-Murtasyi (penerima suap), yang dua-duanya sama-sama diharamkan dalam Islam menurut kesepakatan para ulama, bahkan perbuatan tersebut dikategorikan dalam kelompok dosa besar. Sebagaimana yang telah diisyaratkan beberapa nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah berikut ini:
v  Firman Allah SWT :
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS Al Baqarah 188)
v  Firman Allah SWT :
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
”Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram” (QS Al Maidah 42).
Imam al-Hasan dan Said bin Jubair menginterpretasikan ‘akkaaluna lissuhti’ dengan risywah. Jadi risywah (suap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah SWT
v  Rasulullah SAW bersabda :
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
“Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap” (HR Khamsah kecuali an-Nasa’i dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi).
v  Nabi Muhammad SAW bersabda :
«كلّ لحم نبت بالسّحت فالنار أولى به» قالوا : يا رسول الله وما السحت؟ قال : «الرشوة في الحكم»
Setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram (as-suht) nerakalah yang paling layak untuknya.” Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, apa barang haram (as-suht) yang dimaksud?”“Suap dalam perkara hukum” (Al-Qurthubi 1/ 1708)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan secara tegas tentang diharamkannya mencari suap, menyuap dan menerima suap. Begitu juga menjadi mediator antara penyuap dan yang disuap.
c). Risywah yang diperbolehkan
Pada prinsipnya risywah itu hukumnya haram karena termasuk memakan harta dengan cara yang tidak dibenarkan. Hanya saja mayoritas ulama membolehkan ‘Risywah’ (penyuapan) yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan haknya dan atau untuk mencegah kezhaliman orang lain. Dan dosanya tetap ditanggung oleh orang yang menerima suap (al-murtasyi) (Kasyful Qina’ 6/316, Nihayatul Muhtaj 8/243, al-Qurtubi 6/183, Ibnu Abidin 4/304, al-Muhalla 8/118, Matalib Ulin Nuha 6/479).
d). Pembagian Risywah
Imam Hanafi membagi risywah dalam 4 bagian :
v  Memberikan sesuatu untuk mendapatkan pangkat dan jabatan hukumnya adalah haram, baik bagi penyuap maupun bagi penerima.
v  Memberikan sesuatu kepada hakim agar bisa memenangkan perkara, hukumnya haram bagi penyuap dan yang disuap, walaupun keputusan tersebut benar, karena hal itu sudah menjadi tugas dan kewajibannya.
v  Memberikan sesuatu agar mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan penguasa dengan tujuan mencegah kemudharatan dan meraih kemaslahatan, hukumnya haram bagi yang disuap saja. Al-Hasan mengomentari sabda Nabi yang berbunyi, ”Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan yang disuap”, dengan berkata, ”jika ditujukan untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Adapun jika untuk melindungi hartamu, tidak apa-apa” Yunus juga meriwayatkan bahwa al-Hasan berkata:”tidak apa-apa seseorang memberikan hartanya selama untuk melindungi kehormatannya”. Abu Laits As-Samarqandi berkata, ”Tidak apa-apa melindungi jiwa dan harta dengan suap.
v  Memberikan sesuatu kepada seseorang yang tidak bertugas di pengadilan atau di instansi tertentu agar bisa menolongnya dalam mendapatkan haknya di pengadilan dan instansi tersebut, maka hukumnya halal bagi keduanya (pemberi dan penerima) sebagai upah atas tenaga dan potensi yang dikeluarkannya. Tapi Ibnu Mas’ud dan Masruq lebih cenderung bahwa pemberian tersebut juga termasuk suap yang dilarang, karena orang tersebut memang harus membantunya agar tidak terzhalimi. Firman Allah SWT yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertaqwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2)
(sumber: mausu’ah fiqhiyyah dan tafsih ayat ahkam lil Jash-shash)
e). Risywah masa kini
Saat ini ada bentuk risywah yang tampak lebih lembut, seperti pemberian yang diberikan kepada seseorang dengan tujuan investasi jasa, baik materi atau pelayanan, dll. Dan ada pula bentuk risywah yang lebih berat dari risywah itu sendiri, seperti pemberian yang diberikan kepada seseorang dari dana yang bukan miliknya, seperti dana APBD, dll.
f). Hukum pemberian dilihat dari sisi orang yang diberi
v   Penguasa
Ibnu Hubaib berkata, “Para ulama sepakat mengharamkan memberikan hadiah kepada penguasa, hakim, pejabat dan pegawai penarik retribusi.” (al-Qurtubi 2/340). Nabi Muhammad SAW memang menerima hadiah walaupun beliau adalah pejabat dan penguasa, tapi ini adalah bagian dari kekhususan beliau, karena beliau ma’shum terjaga dari dosa. Hal ini juga pernah dikatakan oleh Umar bin Abdul Aziz ketika beliau menolak hadiah yang diberikan kepadanya, beliau mengatakan: pemberian yang diberikan kepada Nabi termasuk hadiah sementara yang diberikan kepada kita adalah risywah, karena pemberian yang diberikan kepada beliau lantaran kenabiannya sementara pemberian yang diberikan kepada kita karena pangkat jabatan kita.
Hadits Rasulullah SAW, “Hadiah kepada pejabat adalah penyelewengan.” (HR Ahmad)
v  Pejabat pemerintah
hadiah yang diberikan kepada pejabat hukumnya sama dengan hadiah yang diberikan kepada penguasa, sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Ibnu Hubaib, hal itu diperkuat dengan sabda Rasulullah dalam hadits Ibnul Utbiyah
عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِي اللَّه عَنْهم قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنَ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا
Dari Abi Humaid As Sa’idi RA berkata Nabi SAW mempekerjakan seseorang dari suku Azdy namanya Ibnu Alutbiyyah untuk mengurusi zakat, tatkala ia datang berkata [kepada Rasulullah] ini untuk Anda dan ini dihadiahkan untuk saya, bersabda beliau : kenapa dia tidak duduk di rumah ayahnya atau ibunya, lantas melihat apakah ia diberi hadiah atau tidak, Demi Dzat yang jiwaku di tanganNya tidaklah seseorang mengambilnya darinya sesuatupun kecuali ia datang pada hari kiamat dengan memikulnya di lehernya, kalau unta atau sapi atau kambing semua bersuara dengan suaranya kemudian beliau mengangkat tangannya sampai kelihatan putih ketiaknya lantas bersabda : Ya Allah, tidaklah telah aku sampaikan? (HR Bukhari)
Dan sabda Nabi SAW :
“ هدايا الأمراء غلول ”
“Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah ghulul” (HR. Ahmad 5/424)
Ghulul, secara bahasa berarti khianat dan secara istilah mengambil sesuatu dari rampasan perang sebelum dibagi atau khianat pada harta rampasan perang. Berkata Nawawi, ghulul arti asalnya adalah khianat, tetapi penggunaannya secara dominan dipakai pada khianat dalam ghanimah. Dan yang biasa berkhianat atas harta itu adalah para penguasa dan pejabat.
v  Hakim
Pemberian yang diberikan kepada hakim adalah harta haram menurut kesepakatan para ulama, karena termasuk SUHT (yaitu yang haram yang tidak boleh di konsumsi maupun digunakan sebagai investasi).
v  Mufti
Haram bagi seorang mufti menerima suap untuk memberikan fatwa atau putusan hukum sesuai yang diinginkan mustafti (yang meminta fatwa). (ar-Raudhah 11/111, Asnaa al-Mutahalib 4/284) Ibnu Arfah berkata, “sebagian ulama mutaakhkhirin mengatakan : ‘hadiah yang diberikan kepada seorang mufti jika tidak berpengaruh kepada semangat mufti tersebut, baik ada hadiah atau tidak ada tetap semangat maka boleh diambil, dan jika mufti tersebut tidak semangat kecuali dengan hadiah maka tidak boleh diambilnya, ini jika tidak berkaitan dengan masalah yang dipertikaikan. Tapi sebaiknya seorang mufti tidak menerima hadiah dari mustafti, karena itu bisa menjadi risywah kata Ibnu Aisyun.
v  Guru/Dosen
Jika pemberian itu diberikan dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang karena ilmu dan keshalihannya maka boleh diterima, tapi jika diberikan agar memberikan tugas dan kewajiban yang sudah menjadi tanggung jawabnya maka sebaiknya tidak diambilnya.
v  Saksi
Haram bagi seorang saksi menerima pemberian (risywah) apabila ia menerimanya maka gugurlah keadilan yang menjadi syarat sah kesaksiannya. (al-Muhadzaab 2/330, al-Mughni 9/40 dan 160).
g). Hukum keputusan hakim yang disertai risywah.
Jika seorang hakim memutuskan perkara dengan disertai risywah, maka para ulama berbeda pendapat apakah putusan itu sah dan harus dilaksanakan atau putusan itu batal demi hukum:
v  Mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan dengan risywah batal dan tidak boleh dilaksanakan, walaupun keputusan tersebut benar. (al Bahrurraiq 6/284, al Mughni 9/40)
v  Al Khashaf dan Ath-Thohawi berpendapat bahwa keputusan hakim dianggap sah jika bertepatan dengan syari’ah, dan risywah tidak bisa membatalkan hukum yang benar yang telah ditetapkan (Durarul hukkam 4/537)


h). Sanksi bagi pelaku risywah
Risywah adalah sebuah pelanggaran yang jelas pelakunya harus dikenai sanksi, baik ar-rasyi sebagai pemberi maupun al-murtasyi sebagai penerima pemberian.
Dan dikarenakan tidak adanya nash khusus tentang sanksi yang harus diberikan baik bentuk maupun ukurannya, maka sanksi risywah berbentuk ta’zir yang bentuk dan macamnya diserahkan kepada hakim.
i). Cara pengembalian uang hasil risywah
Risywah hukumnya tetap haram walaupun menggunakan istilah hadiah, hibah atau tanda terima kasih dll. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada hadits Ibnul Lutbiyah di atas.
Oleh karena itu setiap perolehan apa saja di luar gaji dan dana resmi/legal yang terkait dengan jabatan/pekerjaan merupakan harta “ghulul” (korupsi) dan hukumnya tidak halal. Meskipun hal itu atas nama ‘hadiah’ dan ‘tanda terima kasih’ akan tetapi dalam konteks dan perspektif syari’at Islam bukan merupakan hadiah tetapi dikategorikan sebagai ‘risywah’ (suap) atau ‘syibhu risywah’ (semi suap) atau ‘risywah masturoh’ (suap terselubung), ‘risywah musytabihah’ (suap yang tidak jelas) ataupun ‘ghulul’ dsb.
Segala sesuatu yang dihasilkan dengan cara yang tidak halal seperti risywah maka harus dikembalikan kepada pemiliknya jika pemiliknya diketahui, dan kepada ahli warisnya jika pemiliknya sudah meninggal, dan jika pemiliknya tidak diketahui maka harus diserahkan ke baitulmal sebagaimana penjelasan yang terdapat dalam hadits Ibnul lutbiah, atau digunakan untuk kepentingan umat Islam. Sebagaimana yang dikatakan oleh syekhul Islam Ibnu Taimiyah terkait dengan orang yang bertaubat setelah mengambil harta orang lain secara tidak benar: “jika pemiliknya diketahui maka harus dikembalikan kepada pemiliknya, dan jika tidak diketahui maka diserahkan untuk kepentingan umat Islam.” (Kasysyaful Qina’ 6/317)


BAB 3
SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan
Dari uraian-uraian tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :
a.       Korupsi
      Pada hakikatnya, definisi korupsi adalah usaha memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan cara melanggar hukum. Adapun bentuk-bentuk dari pelanggaran tersebut adalah bisa berupa khianat (ghulul), pencurian (suroqoh), perampokan (hirobah), menggunakan barang orang lain tanpa izin (ghosob), dan juga suap (risywah).
      Ada tokoh yang berpendapat, jika perbuatan korupsi jelas-jelas mengarah pada perusakan makro ekonomi dan social negara, maka hal tersebut status hukumnya layak untuk ditetapkan sebagai kategori hirobah. Hukuman bagi pelakunya adalah sangat berat di dalam Islam bahkan sampai hukuman mati. Dan pemberlakuan hukuman yang berat bahkan mati bagi koruptor bisa mengambil landasan dari ayat hirobah ini. Sebagaimana dijelaskan dalam surat Surat Al-maidah ayat 33 dan 38. Karena seorang koruptor yang melakukan tindakan dengan disertai pemberatan dan penghalalan segala cara untuk mendapatkan yang diinginkan maka bisa dimasukkan ke dalam delik hirobah ini.


b.      Spekulasi
Salah satu bentuk spekulasi ialah usaha penimbunan, atau menahan barang/jasa dari peredarannya untuk tujuan menaikan harga dan mengacaukan ekonomi. Islam mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari peredarannya. Islam mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang sangat pedih kelak hari kiamat. Ancaman itu dituangkan dalam nash-nash yang tegas dalam Al-Qur’an, firman Allah dalam surat (Q.S. At-Taubah (9) : 34-35).
c.       Risywah
Sebagai seorang muslim yang mengaku tunduk dan patuh terhadap hukum-hukum Allah dan Rasulullah maka sepatutnyalah kita membenci praktik suap-menyuap (ar-Risywah) yang telah meracuni pikiran kaum muslimin sehingga mereka tidak lagi percaya kepada qadha dan qadar dari Allah, dengan akhirnya mereka menempuh jalan pintas untuk kemudian memutarbalikkan kebenaran, merubah yang bathil menjadi haq. Tidak hanya itu, laknat dari Rasulullah seharusnya menjadi bahan pertimbangan bagi orang-orang yang akan dan membudayakan praktik suap-menyuap tersebut.
وأتبعناهم في هذه الدنيا لعنة ويوم القيامة هم من المقبوحين
“Dan Kami ikutkanlah laknat kepada mereka di dunia ini; dan pada hari kiamat mereka termasuk orang-orang yang dijauhkan (dari rahmat Allah).”[QS. Al-Qashash: 42]
Demikianlah jika Allah dan Rasul-Nya telah melaknat seseorang maka laknat itu akan melekat pada dirinya di dunia hingga akhirat.
3.2 Saran
Sebagai manusia yang  berahlak, sebaiknya kita mendekatkan diri dengan agama (Allah SWT) agar dapat menjauhkan diri kita dari berbagai macam perbuatan menyimpang seperti korupsi, spekulasi dan risywah yang hanya merugikan diri sendiri dan orang lain. Selain bertentangan dengan norma hukum dan norma agama, perbuatan menyimpang seperti ini juga akan menimbulkan berbagai kegelisahan karena secara tidak langsung orang yang melakukan perbuatan tersebut hatinya akan menjadi tidak tenang, karena sebaik apapun seseorang menutupi kesalahannya, maka cepat atau lambat kesalahan itu pasti akan terbongkar.


0 komentar:

Post a Comment