BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Persaingan ekonomi di
era globalisasi ini semakin mendorong setiap individu untuk terus meningkatkan
tarap hidup mereka. Mereka semakin dibutakan oleh keinginan untuk mencapai
suatu kemakmuran sehingga mereka tidak jarang melakukan berbagai cara untuk
meningkatkan tarap hidup (ekonomi) atau bahkan hanya dengan tujuan memperkaya
atau menambah kekayaan yang ada, meskipun untuk mendapatkannya mereka tidak
jarang melakukan berbagai tindakan yang menyimpang khususnya di dalam
perekonomian (korupsi, spekulasi dan riswah) yang jelas-jelas sangat
bertentangan baik dengan norma agama maupun norma-norma yang ada dalam hukum di
masyarakat.
Hal ini menyebabkan
kasus-kasus seperti korupsi, spekulasi dan riswah menjadi suatu wacana yang
kian hari semakin hangat untuk dibicarakan dan tindak penyelesaianpun menjadi
suatu hal yang sangat lamban bahkan sulit untuk dilaksanakan, dikarenakan masih
adanya kekebalan hukum bagi pihak-pihak tertentu, serta masih sangat kurangnya
kesadaran individu untuk menghilangkan kebiasaan-kebiasaan buruk di masyarakat
tersebut, yang secara tidak langsung merugikan kepentingan orang banyak.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan korupsi, spekulasi dan riswah ?
2. Apa
yang membuat korupsi, spekulasi dan riswah semakin merajalela ?
3. Bagaimana
penjabarannya serta hukum dan dalil Al-qur’an yang melarang perbuatan tersebut
?
1.3 Tujuan
Tujuan pembuatan
makalah ini adalah untuk mengetahui ahlak-ahlak ekonomi dan memahami
pengertian-pengertian tentang korupsi, spekulasi dan riswah, serta untuk
mengetahui hukum/ norma yang melarang perbuatan tersebut, baik secara
norma-norma hukum maupun norma-norma agama yang berlaku di masyarakat, serta
menambah pengetahuan tentang ahlak-ahlak mana saja yang baik dan yang buruk
terhadap kehidupan masyarakat dalam ruang lingkup ekonomi.
1.4 Kegunaan
Kegunaan penyusunan
makalah ini sebagai bahan pembelajaran dan pengetahuan tentang ahlak-ahlak
ekonomi yang meliputi korupsi, spekulasi dan riswah dan semoga bermanfaat bagi
pembaca.
1.5 Metode
Penyusunan makalah ini
menggunakan metode observasi dan kepustakaan, obsevasi yang dilakukan seperti
studi pustaka dengan membaca buku-buku yang berkaitan dengan judul makalah. Dan
sumber lainnya melalui informasi media komunikasi (internet) yang berhubungan
dengan tema makalah.
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1.
Korupsi
a).
Pengertian
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik,
menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik
politikus/politisi maupun pegawai
negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya
mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercayakan kepada mereka.
Dalam arti yang
luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk
keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam
prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harfiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak
ada sama sekali. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele
atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan
kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi
itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah
ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan
kriminalitas/kejahatan. Tergantung dari negaranya atau
wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak.
Sebagai contoh, pendanaan partai
politik ada yang legal di satu
tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Dari sudut pandang hukum, tindak
pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
v
perbuatan melawan hukum.
v penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau
sarana.
v memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
v merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Selain
itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:
v memberi atau menerima hadiah atau janji
(penyuapan).
v penggelapan dalam jabatan.
v pemerasan dalam jabatan.
v ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai
negeri/penyelenggara negara).
v menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Korupsi
bisa terjadi apabila karena faktor-faktor sebagai berikut :
v Ketiadaan
atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan
ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
v Kelemahan
pengajaran-pengajaran agama dan etika.
v Kolonialisme.
v Kurangnya
pendidikan.
v Kemiskinan.
v Tiadanya
hukuman yang keras.
v Kelangkaan
lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
v Struktur
pemerintahan.
v Perubahan
radikal.
v Keadaan
masyarakat
b). Korupsi Menurut Islam
Adapun pengertian yang
termasuk ke dalam makna korupsi dalam fiqih islam adalah pencurian, penggunaan
hak orang lain tanpa izin, penyelewengan harta negara (ghanimah), suap,
khianat, perampasan.
Ayat-ayat al-Qur’an yang terkait:
Surat Al-Maidah : 33
dan 38
Artinya: “Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri
(tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar” (al-Maidah: 33)
Artinya: “laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (al-Maidah: 38)
Surat Al-Kahfi : 79
Artinya: “Adapun bahtera itu adalah
kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan
bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap
bahtera.”
Surat Al-Baqarah: 188
Artinya : Janganlah kalian memakan
harta diantara kalian dengan jalan yang batil dengan cara mencari pembenarannya
kepada hakim-hakim, agar kalian dapat memakan harta orang lain dengan cara dosa
sedangkan kalian mengetahuinya.”
Surat ali imran: 161
Artinya: “Tidaklah pantas
bagi seorang Nabi untuk berlaku ghulul (khianat), barang siapa yang berlaku
ghulul maka akan dihadapkan kepadanya apa yang dikhianati dan akan dibalas
perbuatannya dan mereka tidak akan dizhalimi.”
Pokok permasalahan yang
dibahas pada ayat-ayat diatas adalah larangan memakan harta orang lain yang
bukan haknya secara umum dengan jalan batil, apalagi dengan jalan membawa ke
depan hakim, sedangkan sudah jelas harta yang diambil tersebut adalah milik orang
lain. Korupsi adalah salah
satu bentuk pengambilan harta milik orang lain yang bersifat khusus. Dan jika
kita perhatikan beberapa dalil al-Qur’an di atas adalah cocok untuk memasukkan
korupsi sebagai salah satu bentuk khusus pengambilan harta orang lain, karena
korupsi sangat merugikan banyak orang.
Selanjutnya pada surat Ali Imran ayat 161 lebih spesifik
disebutkan tentang ghulul yang bermakna khianat. Maksudnya mengkhianati
kepercayaan yang diberikan oleh Allah SWT dan manusia, terutama dalam pengurusan
dan pemanfaatan harta ghonimah.
Ayat ini merupakan sebuah peringatan
untuk menghindarkan diri dari pengkhianatan amanat dalam segala bentuknya. Ayat
ini secara spesifik memang hanya membahas tentang penyalahgunaan harta bersama
untuk dikuasai sendiri, akan tetapi ini akan menjelaskan bagaimana seseorang
tidak boleh berlaku khianat atau menyelewengkan harta tersebut. Sesuai dengan
salah satu makna dari kata korupsi bahwa pekerjaan ini termasuk penggelapan
terhadap harta orang lain atau masyarakat.
Apakah yang menjadi alasan dari
penganologian korupsi dengan kata ghulul yang memliki arti khianat yang
terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an di atas?
Ada beberapa
pendapat tentang alasan-alasan penganalogian korupsi dengan ayat-ayat al-Qur’an
di atas, yaitu:
Korupsi merupakan suatu bentuk
penyalahgunaan harta, baik itu harta negara, perusahaan, maupun masyarakat. Ghulul
juga merupakan penyalahgunaan harta negara, karena pada zaman Rasulullah saw.
pemasukan harta negara adalah ghonimah. Akan tetapi pada saat ini
permasalahan uang negara berkembang tidak hanya pada ghonimah (pemasukan),
melainkan pada semua bentuk uang negara.
Korupsi dilakukan oleh salah seorang
pemegang kekuasaan atau jabatan yang terkait, demian juga dengan ghulul yang
merupakan penghianatan jabatan oleh pejabat yang terkait.
Selanjutnya, secara khusus
disebutkan dalam surat al-Maidah ayat 33 dan 38 tentang hirobah dan suroqoh.
Ayat yang pertama menjelaskan tentang pengambilan harta orang lain secara
terang-terangan yang bisa disertai dengan kekerasan, atau dengan cara melakukan
perusakan di muka bumi. Sedangkan yang kedua yaitu menjelaskan tentang
pengambilan harta orang lain dengan cara diam-diam atau mencuri.
Kalau dicermati secara seksama
ayat-ayat di atas, secara khusus korupsi lebih identik dengan pencurian atau suroqoh.
Korupsi memberikan dampak negative yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat.
Dan jika lihat kasus-kasus yang saat ini banyak terjadi di Indonesia,
korupsi tidak hanya merugikan satu atau dua orang, akan tetapi korupsi telah
menjadi ancaman yang sangat serius untuk kestabilan, keamanan dan kesejahteraan
perekonomian dan social semua lapisan masyarakat.
Dalam surat al-Kahfi ayat 79, yang
termasuk kategori korupsi adalah ghosob. Pengertian ghosob dalam ayat di atas
adalah menguasai harta orang lain dengan pemaksaan atau dengan jalan yang tidak
benar. Alasan penganalogian korupsi pada ghosob adalah adanya unsur memperkaya
diri atau pribadinya dengan menggunakan hak-hak rakyatnya dengan jalan yang
tidak benar.
c). Korupsi Menurut Undang-undang
Korupsi dapat dilihat berdasarkan UU
NO. 3 Tahun 1971, yaitu UU Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Semua
tindak penyelewengan dan tindak korupsi yang dilakukan oleh aparat dan pengabdi
rakyat, oleh pejabat/pegawai negeri merupakan perbuatan yang melanggar hukum
yang tercantum dalam UU NO. 3 Tahun 1971 dan setiap yang melanggar UU tersebut
akan diberi sanksi tegas berdasarkan norma-norma yang berlaku. Dapat diketahui
dari bunyi pasal 1 UU No. 3 Tahun 1971. Dalam pasal 1 ini disebutkan bahwa :
v Barang siapa dengan melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri atau orang lain…….dan seterusnya.
v Barang siapa melkukan kejahatan
tercantum dalam pasal-pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420,
423, 425 dan 435 KUHP.
v Barang siapa memberi hadiah atau
janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat
sesuatu kekuasaan/sesuatu kewenangan yang melekat pada jabatannya/kedudukannya,
oleh si pemberi hadiah/janji dianggap melekat pada jabatan dan kedudukannya.
v Barang siapa tanpa alasan yang
wajar, dalam yang sesingkat-singkatnya……..dan seterusnya.
v Barang siapa melakukan percobaan
atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana tersebut dalam ayat (1)
a,b,c,d,e, pasal ini.
Dari pasal yang dikutip diatas,
terutama yang dikutip lengkap, yaitu pasal (1) c, pasal-pasal dalam KUHP
seperti yang disebut diatas (khususnya pasal 209 KUHP) dikualifikasikan sebagai
tindak pidana korupsi. Sedangkan pada pasl 1 ayat (1) disusun untuk mengisi
kekosongan, karena dalam KUHP tidak diancam dengan hukuman orang-orang yang
memberi hadiah kepada aparat/pejabat seperti yang dimaksud dalam pasal-pasal UU
tersebut.
2.2 Spekulasi
a). Pengertian
Kata “spekulasi” berasal dari bahasa latin speculate
yang merupakan bentuk kalimat lampau dari speculari yang artinya “melihat kedepan, mengamati, dan menela'ah”. Kata speculari itu sendiri
merupakan turunan dari kata specula, yang berasal dari specere
yang artinya “untuk melihat”, yang
merupakan serdadu Roma yang bertugas mengawasi perkampungan serdadu yang
disebut castrum. Dalam kata ini ditemukan persamaan etimologis dari
kalimat kontemporer yang menunjukkan pada suatu aktifitas "memandang dari
jauh" diangkasa dan juga didalam waktu. Dari “specula” inilah asal kata dalam bahasa latin “speculatio, speculationis”
suatu aktifitas penyelidikan filosofi. Kalimat ini masih digunakan saat ini
dalam dunia filosufi sebagai suatu kegiatan berteori tanpa didukung dengan
suatu dasar fakta yang kuat sebagaimana halnya dalam dunia keuangan modern,
dimana seorang speculator
melaksanakan suatu transaksinya dengan tanpa didukung oleh suatu transaksinya
dengan dasar statistik.
Salah satu bentuk spekulasi ialah usaha penimbunan, atau
menahan barang/jasa dari peredarannya untuk tujuan menaikan harga dan
mengacaukan ekonomi. Islam mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari
peredarannya. Islam mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang sangat
pedih kelak hari kiamat. Ancaman itu dituangkan dalam nash-nash yang tegas
dalam Al-Qur’an, firman Allah dalam surat (Q.S. At-Taubah (9) : 34-35)
Artinya : Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih. Pada hari dipanaskannya emas perak itu dalam neraka jahanam, lalu
dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan
kepada mereka):” Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,
maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. (Q.S.
At-Taubah (9) : 34-35)
Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya dan
menjauhkannya dari peredaran, agar barang menjadi langka sehingga harga naik.
Penimbunan harta berbahaya terhadap perekonomian, sebab sekiranya harta itu
tidak disimpan dan tidak ditahan, tentu ia ikut andil dalam usaha-usaha
produktif, seperti andilnya dalam merencanakan produksi.
Kesempatan-kesempatan ini membawa bertambahnya pendapatan,
dan pendapatan akhirnya menyebabkan meningkatnya daya beli dalam masyarakat,
yakni hal yang mendorong meningkatnya produksi, baik itu dengan membuat
rencana-rencana yang telah ada. Sekalipun islam memberikan kebebasan kepada
setiap orang dalam menjual, membeli dan memenuhi kebutuhannya tetapi islam
menentang dengan keras sifat ananiyah (egois) yang mendorong sementara orang
akan ketamakan pribadi untuk memupuk kekayaan atas biaya orang lain dan
memperkaya diri sendiri.
Untuk itu Rasulullah SAW, melarang menimbun dengan ungkapan
yang sangat keras. Sabda Rasul : “Barang siapa menimbun bahan makanan selama
empat puluh malam maka sesungguhnya Allah tidak lagi perlu kepadanya”. (Riwayat
Ahmad, Hakim, Ibnu Abi Syaibah dan Bazzar) dan sabdanya pula : “Tidak akan
menimbun kecuali khaitun (orang yang berbuat dosa)” (Riwayat Muslim). Para
ulama beristimbath (menetapkan suatu hukum), bahwa diharamkannya menimbun
adalah dengan dua syarat :
1. Dilakukan di suatu negara dimana
penduduk negara itu akan menderita sebab adanya penimbunan.
2. Dengan maksud untuk menaikan harga
sehingga orang-orang merasa lelah, supaya dia memperoleh keuntungan yang
berlipat ganda.
2.3. Risywah
a). Pengertian
v Secara
Istilah (kamus Bahasa Indonesia) adalah memberi uang dan sebagainya kepada
petugas (pegawai), dengan harapan mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan.
v Secara Istilah dalam islam
disebut Ar-Risywah, Menurut Al-Mula Ali
Al-Qari rahimahullah(lihat Al-Mirqah Syarhul
Misykat: 11/390), “Ar-Risywah (suap) adalah sesuatu yang diberikan
untuk menggagalkan perkara yang benar atau mewujudkan perkara yang bathil
(tidak benar).”
b). Hukum risywah
Dari
definisi di atas ada dua sisi yang saling terkait dalam masalah risywah;
Ar-Rasyi (penyuap) dan Al-Murtasyi (penerima suap), yang dua-duanya sama-sama
diharamkan dalam Islam menurut kesepakatan para ulama, bahkan perbuatan
tersebut dikategorikan dalam kelompok dosa besar. Sebagaimana yang telah
diisyaratkan beberapa nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah berikut ini:
v Firman Allah SWT :
وَلا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ
لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
”Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain
di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS Al Baqarah
188)
v Firman Allah SWT :
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ
أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
”Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong,
banyak memakan yang haram” (QS Al Maidah 42).
Imam
al-Hasan dan Said bin Jubair menginterpretasikan ‘akkaaluna lissuhti’ dengan
risywah. Jadi risywah (suap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh
Allah SWT
v Rasulullah SAW bersabda :
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
“Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap” (HR Khamsah
kecuali an-Nasa’i dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi).
v Nabi Muhammad SAW
bersabda :
«كلّ لحم نبت بالسّحت فالنار أولى به» قالوا : يا رسول الله وما
السحت؟ قال : «الرشوة في الحكم»
“Setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram (as-suht)
nerakalah yang paling layak untuknya.” Mereka bertanya: “Ya Rasulullah,
apa barang haram (as-suht) yang dimaksud?”, “Suap dalam perkara
hukum” (Al-Qurthubi 1/ 1708)
Ayat
dan hadits di atas menjelaskan secara tegas tentang diharamkannya mencari suap,
menyuap dan menerima suap. Begitu juga menjadi mediator antara penyuap dan yang
disuap.
c). Risywah yang diperbolehkan
Pada
prinsipnya risywah itu hukumnya haram karena termasuk memakan harta dengan cara
yang tidak dibenarkan. Hanya saja mayoritas ulama membolehkan ‘Risywah’
(penyuapan) yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan haknya dan atau untuk
mencegah kezhaliman orang lain. Dan dosanya tetap ditanggung oleh orang yang
menerima suap (al-murtasyi) (Kasyful Qina’ 6/316, Nihayatul Muhtaj 8/243,
al-Qurtubi 6/183, Ibnu Abidin 4/304, al-Muhalla 8/118, Matalib Ulin Nuha
6/479).
d). Pembagian Risywah
Imam
Hanafi membagi risywah dalam 4 bagian :
v Memberikan sesuatu untuk
mendapatkan pangkat dan jabatan hukumnya adalah haram, baik bagi
penyuap maupun bagi penerima.
v Memberikan sesuatu
kepada hakim agar bisa memenangkan perkara, hukumnya haram bagi penyuap dan
yang disuap, walaupun keputusan tersebut benar, karena hal itu sudah menjadi
tugas dan kewajibannya.
v Memberikan sesuatu agar
mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan penguasa dengan tujuan mencegah
kemudharatan dan meraih kemaslahatan, hukumnya haram bagi yang disuap saja.
Al-Hasan mengomentari sabda Nabi yang berbunyi, ”Rasulullah melaknat orang yang
menyuap dan yang disuap”, dengan berkata, ”jika ditujukan untuk membenarkan
yang salah dan menyalahkan yang benar. Adapun jika untuk melindungi hartamu,
tidak apa-apa” Yunus juga meriwayatkan bahwa al-Hasan berkata:”tidak apa-apa
seseorang memberikan hartanya selama untuk melindungi kehormatannya”. Abu Laits
As-Samarqandi berkata, ”Tidak apa-apa melindungi jiwa dan harta dengan suap.
v Memberikan sesuatu kepada
seseorang yang tidak bertugas di pengadilan atau di instansi tertentu agar bisa
menolongnya dalam mendapatkan haknya di pengadilan dan instansi tersebut, maka
hukumnya halal bagi keduanya (pemberi dan penerima) sebagai upah atas tenaga
dan potensi yang dikeluarkannya. Tapi Ibnu Mas’ud dan Masruq lebih cenderung
bahwa pemberian tersebut juga termasuk suap yang dilarang, karena orang
tersebut memang harus membantunya agar tidak terzhalimi. Firman Allah SWT yang
artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar
syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan
jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari
kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah
haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada
sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil haram,
mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. dan bertaqwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat
berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2)
(sumber:
mausu’ah fiqhiyyah dan tafsih ayat ahkam lil Jash-shash)
e). Risywah masa kini
Saat
ini ada bentuk risywah yang tampak lebih lembut, seperti pemberian yang
diberikan kepada seseorang dengan tujuan investasi jasa, baik materi atau
pelayanan, dll. Dan ada pula bentuk risywah yang lebih berat dari risywah itu
sendiri, seperti pemberian yang diberikan kepada seseorang dari dana yang bukan
miliknya, seperti dana APBD, dll.
f). Hukum pemberian dilihat dari sisi orang yang diberi
v Penguasa
Ibnu
Hubaib berkata, “Para ulama sepakat mengharamkan memberikan hadiah kepada
penguasa, hakim, pejabat dan pegawai penarik retribusi.” (al-Qurtubi
2/340). Nabi Muhammad SAW memang menerima hadiah walaupun beliau adalah pejabat
dan penguasa, tapi ini adalah bagian dari kekhususan beliau, karena beliau
ma’shum terjaga dari dosa. Hal ini juga pernah dikatakan oleh Umar bin Abdul
Aziz ketika beliau menolak hadiah yang diberikan kepadanya, beliau mengatakan:
pemberian yang diberikan kepada Nabi termasuk hadiah sementara yang diberikan
kepada kita adalah risywah, karena pemberian yang diberikan kepada beliau
lantaran kenabiannya sementara pemberian yang diberikan kepada kita karena
pangkat jabatan kita.
Hadits
Rasulullah SAW, “Hadiah kepada pejabat adalah penyelewengan.” (HR
Ahmad)
v Pejabat pemerintah
hadiah
yang diberikan kepada pejabat hukumnya sama dengan hadiah yang diberikan kepada
penguasa, sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Ibnu Hubaib, hal itu
diperkuat dengan sabda Rasulullah dalam hadits Ibnul Utbiyah
عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِي
اللَّه عَنْهم قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
رَجُلًا مِنَ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ
فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ
فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ
رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ
حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ
بَلَّغْتُ ثَلَاثًا
Dari Abi Humaid As Sa’idi RA berkata Nabi SAW mempekerjakan
seseorang dari suku Azdy namanya Ibnu Alutbiyyah untuk mengurusi zakat, tatkala
ia datang berkata [kepada Rasulullah] ini untuk Anda dan ini dihadiahkan untuk
saya, bersabda beliau : kenapa dia tidak duduk di rumah ayahnya atau ibunya,
lantas melihat apakah ia diberi hadiah atau tidak, Demi Dzat yang jiwaku di
tanganNya tidaklah seseorang mengambilnya darinya sesuatupun kecuali ia datang
pada hari kiamat dengan memikulnya di lehernya, kalau unta atau sapi atau
kambing semua bersuara dengan suaranya kemudian beliau mengangkat tangannya
sampai kelihatan putih ketiaknya lantas bersabda : Ya Allah, tidaklah telah aku
sampaikan? (HR
Bukhari)
Dan
sabda Nabi SAW :
“ هدايا الأمراء غلول ”
“Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah ghulul” (HR. Ahmad 5/424)
Ghulul,
secara bahasa berarti khianat dan secara istilah mengambil sesuatu dari
rampasan perang sebelum dibagi atau khianat pada harta rampasan perang. Berkata
Nawawi, ghulul arti asalnya adalah khianat, tetapi penggunaannya secara dominan
dipakai pada khianat dalam ghanimah. Dan yang biasa berkhianat atas harta itu
adalah para penguasa dan pejabat.
v Hakim
Pemberian
yang diberikan kepada hakim adalah harta haram menurut kesepakatan para ulama,
karena termasuk SUHT (yaitu yang haram yang tidak boleh di konsumsi maupun
digunakan sebagai investasi).
v Mufti
Haram
bagi seorang mufti menerima suap untuk memberikan fatwa atau putusan hukum
sesuai yang diinginkan mustafti (yang meminta fatwa). (ar-Raudhah 11/111, Asnaa
al-Mutahalib 4/284) Ibnu Arfah berkata, “sebagian ulama mutaakhkhirin
mengatakan : ‘hadiah yang diberikan kepada seorang mufti jika tidak berpengaruh
kepada semangat mufti tersebut, baik ada hadiah atau tidak ada tetap semangat
maka boleh diambil, dan jika mufti tersebut tidak semangat kecuali dengan
hadiah maka tidak boleh diambilnya, ini jika tidak berkaitan dengan masalah
yang dipertikaikan. Tapi sebaiknya seorang mufti tidak menerima hadiah dari
mustafti, karena itu bisa menjadi risywah kata Ibnu Aisyun.
v Guru/Dosen
Jika
pemberian itu diberikan dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang karena ilmu
dan keshalihannya maka boleh diterima, tapi jika diberikan agar memberikan
tugas dan kewajiban yang sudah menjadi tanggung jawabnya maka sebaiknya tidak
diambilnya.
v Saksi
Haram
bagi seorang saksi menerima pemberian (risywah) apabila ia menerimanya maka
gugurlah keadilan yang menjadi syarat sah kesaksiannya. (al-Muhadzaab 2/330,
al-Mughni 9/40 dan 160).
g). Hukum keputusan hakim yang disertai risywah.
Jika
seorang hakim memutuskan perkara dengan disertai risywah, maka para ulama
berbeda pendapat apakah putusan itu sah dan harus dilaksanakan atau putusan itu
batal demi hukum:
v Mayoritas ahli fiqih
berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan dengan risywah batal dan tidak boleh
dilaksanakan, walaupun keputusan tersebut benar. (al Bahrurraiq 6/284, al
Mughni 9/40)
v Al Khashaf dan
Ath-Thohawi berpendapat bahwa keputusan hakim dianggap sah jika bertepatan
dengan syari’ah, dan risywah tidak bisa membatalkan hukum yang benar yang telah
ditetapkan (Durarul hukkam 4/537)
h). Sanksi bagi pelaku risywah
Risywah
adalah sebuah pelanggaran yang jelas pelakunya harus dikenai sanksi, baik
ar-rasyi sebagai pemberi maupun al-murtasyi sebagai penerima pemberian.
Dan
dikarenakan tidak adanya nash khusus tentang sanksi yang harus diberikan baik
bentuk maupun ukurannya, maka sanksi risywah berbentuk ta’zir yang bentuk dan
macamnya diserahkan kepada hakim.
i). Cara pengembalian uang hasil risywah
Risywah hukumnya tetap haram walaupun menggunakan
istilah hadiah, hibah atau tanda terima kasih dll. Sebagaimana yang telah
dijelaskan pada hadits Ibnul Lutbiyah di atas.
Oleh karena itu setiap perolehan apa saja di
luar gaji dan dana resmi/legal yang terkait dengan jabatan/pekerjaan merupakan
harta “ghulul” (korupsi) dan hukumnya tidak halal. Meskipun hal itu atas nama
‘hadiah’ dan ‘tanda terima kasih’ akan tetapi dalam konteks dan perspektif
syari’at Islam bukan merupakan hadiah tetapi dikategorikan sebagai ‘risywah’
(suap) atau ‘syibhu risywah’ (semi suap) atau ‘risywah masturoh’ (suap
terselubung), ‘risywah musytabihah’ (suap yang tidak jelas) ataupun ‘ghulul’
dsb.
Segala sesuatu yang dihasilkan dengan cara yang
tidak halal seperti risywah maka harus dikembalikan kepada pemiliknya jika
pemiliknya diketahui, dan kepada ahli warisnya jika pemiliknya sudah meninggal,
dan jika pemiliknya tidak diketahui maka harus diserahkan ke baitulmal
sebagaimana penjelasan yang terdapat dalam hadits Ibnul lutbiah, atau digunakan
untuk kepentingan umat Islam. Sebagaimana yang dikatakan oleh syekhul Islam
Ibnu Taimiyah terkait dengan orang yang bertaubat setelah mengambil harta orang
lain secara tidak benar: “jika pemiliknya diketahui maka harus dikembalikan
kepada pemiliknya, dan jika tidak diketahui maka diserahkan untuk kepentingan
umat Islam.” (Kasysyaful Qina’ 6/317)
BAB 3
SIMPULAN DAN SARAN
3.1
Simpulan
Dari uraian-uraian tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :
a. Korupsi
Pada hakikatnya, definisi korupsi adalah
usaha memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan cara melanggar hukum.
Adapun bentuk-bentuk dari pelanggaran tersebut adalah bisa berupa khianat (ghulul),
pencurian (suroqoh), perampokan (hirobah), menggunakan barang
orang lain tanpa izin (ghosob), dan juga suap (risywah).
Ada tokoh yang berpendapat, jika perbuatan
korupsi jelas-jelas mengarah pada perusakan makro ekonomi dan social negara,
maka hal tersebut status hukumnya layak untuk ditetapkan sebagai kategori
hirobah. Hukuman bagi pelakunya adalah sangat berat di dalam Islam bahkan
sampai hukuman mati. Dan pemberlakuan hukuman yang berat bahkan mati bagi
koruptor bisa mengambil landasan dari ayat hirobah ini. Sebagaimana dijelaskan
dalam surat Surat Al-maidah ayat 33 dan 38. Karena seorang koruptor yang melakukan
tindakan dengan disertai pemberatan dan penghalalan segala cara untuk
mendapatkan yang diinginkan maka bisa dimasukkan ke dalam delik hirobah ini.
b.
Spekulasi
Salah satu bentuk spekulasi ialah
usaha penimbunan, atau menahan barang/jasa dari peredarannya untuk tujuan
menaikan harga dan mengacaukan ekonomi. Islam mengharamkan orang menimbun dan
mencegah harta dari peredarannya. Islam mengancam mereka yang menimbunnya
dengan siksa yang sangat pedih kelak hari kiamat. Ancaman itu dituangkan dalam
nash-nash yang tegas dalam Al-Qur’an, firman Allah dalam surat (Q.S. At-Taubah
(9) : 34-35).
c. Risywah
Sebagai
seorang muslim yang mengaku tunduk dan patuh terhadap hukum-hukum Allah dan
Rasulullah maka sepatutnyalah kita membenci praktik suap-menyuap (ar-Risywah)
yang telah meracuni pikiran kaum muslimin sehingga mereka tidak lagi percaya
kepada qadha dan qadar dari Allah, dengan akhirnya mereka menempuh jalan pintas
untuk kemudian memutarbalikkan kebenaran, merubah yang bathil menjadi haq.
Tidak hanya itu, laknat dari Rasulullah seharusnya menjadi bahan pertimbangan
bagi orang-orang yang akan dan membudayakan praktik suap-menyuap tersebut.
وأتبعناهم في هذه الدنيا لعنة ويوم
القيامة هم من المقبوحين
“Dan
Kami ikutkanlah laknat kepada mereka di dunia ini; dan pada hari kiamat mereka
termasuk orang-orang yang dijauhkan (dari rahmat Allah).”[QS. Al-Qashash: 42]
Demikianlah jika Allah dan Rasul-Nya telah melaknat
seseorang maka laknat itu akan melekat pada dirinya di dunia hingga akhirat.
3.2 Saran
Sebagai manusia yang
berahlak, sebaiknya kita mendekatkan diri dengan agama (Allah SWT) agar
dapat menjauhkan diri kita dari berbagai macam perbuatan menyimpang seperti
korupsi, spekulasi dan risywah yang hanya merugikan diri sendiri dan orang
lain. Selain bertentangan dengan norma hukum dan norma agama, perbuatan
menyimpang seperti ini juga akan menimbulkan berbagai kegelisahan karena secara
tidak langsung orang yang melakukan perbuatan tersebut hatinya akan menjadi
tidak tenang, karena sebaik apapun seseorang menutupi kesalahannya, maka cepat
atau lambat kesalahan itu pasti akan terbongkar.
0 komentar:
Post a Comment