BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Di
era globalisasi ini, perjanjian jual beli menjadi hal yang sering untuk
dilakukan oleh para pihak berdasarkan suatu kesepakatan bersama. Dalam
perjanjian jual beli tersebut, para pihak dapat mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih, dimana para pihak yang terlibat dalam perjanjian
jual beli tersebut akan mendapat perlindungan hukum apabila para pihak
mempunyai bukti tertulis dalam suatu ikatan perjanjian jual beli. Pihak yang
satu menyerahkan hak milik atas suatu barang, pihak lainnya berjanji untuk
membayar dengan harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari
perolehan hak milik tersebut. Pihak yang satu disebut penjual berkewajiban
untuk menyerahkan barang sesuai dengan isi perjanjian dan berhak untuk menerima
harga (pembayaran), dan pihak yang lain yaitu pembeli berkewajiban untuk
membayar harga, dan berhak untuk mendapatkan barang yang diperjanjikan dalam
perjanjian jual beli
tersebut.
Di dalam pelaksanaan perjanjian jual beli kadang terjadi permasalahan
dimana pihak pembeli dan pihak yang menjual tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan yang disepakati dalam
perjanjian. Tidak dipenuhinya kewajiban tersebut dapat disebabkan karena
kelalain atau kesengajaan atau karena suatu peristiwa yang terjadi diluar
kemampuan masing-masing pihak. Dengan kata lain disebabkan oleh wanprestasi
atau overmacht. Overmacht atau keadaan memaksa adalah keadaan tidak dapat
dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena
kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan
terjadi pada waktu membuat perikatan.
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai
melaksanakan kewajiban (prestasi) sebagimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat
antara kreditor dengan debitur. Wanprestasi dapat berupa : Pertama, tidak melaksanakan apa yang disanggupi
akan dilakukannya. Kedua, melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak
sebagaimana mestinya. Ketiga, melakukan apa yang dijanjikannya tetapi
terlambat. Keempat, melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.
Wanprestasi timbul dari persetujuan (agreement).
Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih
dahulu perjanjian antara kedua belah pihak. Dari perjanjian tersebut maka
muncul kewajiban para pihak untuk melaksanakan isi perjanjian (prestasi).
Prestasi tersebut dapat dituntut apabila tidak dipenuhi. Apabila suatu pihak
tidak melaksanakan atau memenuhi prestasi sesuai dengan perjanjian itu, maka
pihak tersebut dianggap telah melakukan wanprestasi.
Melihat persolan diatas, maka penulis menjadi
tertarik untuk guna penyusunan makalah yang diberi judul:
“WANPRESTASI DALAM TRANSAKSI”.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan wanprestasi ?
2.
Apa saja bentuk-bentuk wanprestasi ?
3.
Bagaimana para pihak menyelesaikan
wanprestasi ?
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengetahui wanprestasi.
2.
Untuk mengetahui apa saja
bentuk-bentuk wanprestasi.
3.
Untuk mengetahui
bagaimana para pihak menyelesaikan wanprestasi.
1.4
Metode
Penyusunan makalah ini menggunakan
metode observasi dan kepustakaan, observasi yang dilakukan seperti studi
pustaka dengan membaca buku-buku yang berkaitan dengan judul makalah. Dan
sumber lainnya melalui informasi media komunikasi (internet) yang berhubungan
dengan tema makalah.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Kajian Teoritis
Pasal
1315 KUH Perdata memberikan penjelasan tentang terhadap siapa sajakah suatu perjanjian
mempunyai pengaruh langsung.
Bahwa perjanjian mengikat para pihak sendiri adalah logis, dalam arti,
bahwa hak dan kewajiban yang timbul dari adanya suatu perjanjian
hanyalah untuk para pihak saja.
Pasal
1315 KUH Perdata,
“Pada umumnya tak seorang dapat
mengikatkan diri atas nama sendiri
atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk diri sendiri.”
Jadi
orang bebas membuat perjanjian, bebas untuk menentukan isi, luas
dan bentuknya perjanjian sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata:
“Semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”
“Suatu perjanjian tidak dapat
ditarik kembali selain dengan sepakat kedua
belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undangundang dinyatakan cukup untuk itu”
“Suatu
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”
Menurut
Rutten dalam buku karangan Purwahid Patrik, azas-azas Hukum Perjanjian yang
diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata
ada
3 (tiga), yaitu :
1. Azas
Konsensualisme, bahwa perjanjian yang dibuat itu pada umumnya bukan secara
formil tetapi konsensuil, artinya
perjanjian
itu selesai karena persetujuan kehendak atau konsensus semata-mata.
2. Azas kekuatan
mengikat dari perjanjian, bahwa pihak-pihak harus memenuhi apa yang
telah dijanjikan, sebagaimana
disebutkan
dalam Pasal 1338 KUH Perdata; bahwa perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang
bagi para pihak.
3. Azas
kebebasan berkontrak, dalam hal ini orang bebas membuat atau tidak membuat
perjanjian, bebas menentukan isi,
berlakunya
dan syarat-syarat perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas
memilih Undang-Undang mana yang akan
dipakai
untuk perjanjian itu.
Demikianlah
seterusnya dapat ditarik kesimpulan di dalam perjanjian terkandung
suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak
semata-mata terbatas pada apa
yang
diperjanjikan akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki
oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga asas-asas moral,
kepatutan dan kebiasaan yang
mengikat para pihak.
Pasal 1339 KUH
Perdata:
“Suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yangmenurut sifat
perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.
Suatu
perjanjian tidak diperkenankan merugikan pihak ketiga, hal ini sesuai dengan
Pasal 1340 KUH Perdata:
“Suatu perjanjian hanya berlaku
antara pihak-pihak yang membuatnya”.
Suatu perjanjian tidak dapat
membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga;
tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain
dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata".
Pihak ketiga
adalah mereka yang bukan merupakan pihak dalam suatu perjanjian dan
juga bukan penerima/pengoper hak
(rechtsverkrijgenden),
baik berdasarkan alas hak umum maupun alas hak khusus.
Suatu
perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban antara para pihak. Isi hak dan
kewajiban tersebut selain ditentukan oleh hukum yang memaksa juga sudah
tentu oleh sepakat para pihak. Namun
disamping
itu hukum yang menambah juga mengisi kekosongan dalam perjanjian
mereka, yaitu apabila mereka tidak secara tegas mengaturnya secara
menyimpang. Adanya kesempatan kepada para pihak untuk menyimpangi ketentuan yang
bersifat menambah itu, ada
kalanya memberikan kesempatan kepada si kuat untuk menyingkirkan tanggung
jawab tertentu, bahkan ada kalanya
menggesernya
ke pundak lawan janjinya, dengan memperjanjikan suatu klausula, yang
biasa disebut exoneratie-clausul. Dengan adanya kesempatan seperti itu
kita sudah dapat menduga,
bahwa kemungkinan
terjadi, bahwa klausula exoneratie mempunyai kaitan dengan penyalahgunaan
keadaan.
2.2 Wanprestasi dan Overmacht Dalam
Perjanjian
Wanprestasi adalah pelaksanaan perjanjian yang
tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak
dilaksanakan sama sekali. Dengan demikian wanprestasi dapat berbentuk:
1. Tidak melaksanakan apa
yang disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak
sebagaimana mestinya.
3. Melakukan apa yang
dijanjikannya tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Overmacht adalah keadaan dimana debitur terhalang
dalam memenuhi prestasinya karena suatu keadaan yang tak terduga lebih dahulu
dan tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, debitur dibebaskan untuk
membayar ganti rugi dan bunga.
Akibat overmacht, yaitu:
1.
Kreditur tidak dapat
meminta pemenuhan prestasi.
2.
Debitur tidak dapat
lagi dinyatakan lalai.
3.
Risiko tidak
beralih kepada debitur.
Apabila debitur melakukan wanprestasi, maka dia dapat dituntut untuk:
1. Pemenuhan perjanjian.
2. Pemenuhan perjanian ditambah ganti rugi.
3. Ganti rugi.
4. Pembatalan perjanjian timbal balik.
5. Pembatalan dengan ganti rugi.
Kewajiban membayar ganti rugi (schade
vergoeding) tersebut tidak timbul seketika terjadi kelalaian, melainkan
baru efektif setelah debitur dinyatakan lalai (ingebrekestelling) dan tetap tidak
melaksanakan prestasinya. Hal ini diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata, sedangkan
bentuk pernyataan lalai tersebut diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata yang pada
pokoknya menyatakan:
1. Pernyataan lalai tersebut harus berbentuk
surat perintah atau akta lain yang sejenis, yaitu suatu salinan daripada
tulisan yang telah dibuat lebih dahulu oleh juru sita dan diberikan kepada yang
bersangkutan.
2. Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri.
3. Jika tegoran kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul peringatan
atau anmaning yang biasa disebut sommasi. Selanjutnya,
disyaratkan kerugian yang dapat dituntut haruslah kerugian yang menjadi akibat
langsung dari wanprestasi. Artinya antara kerugian dan wanprestasi harus ada
hubungan sebab akibat. Dalam hal ini kreditor harus dapat membuktikan:
1. Besarnya kerugian yang dialami.
2.
Bahwa faktor penyebab kerugian tersebut adalah wanprestasi karena kelalaian
kreditor, bukan karena faktor diluar kemampuan debitur.
2.3 Model-model Wanprestasi dan Doktrin Pelaksanaan Kontrak Secara Substansial
Ada
berbagai model bagi para pihak yang tidak memenuhi prestasinya walaupun
sebelumnya sudah setuju untuk
dilaksanakannya.
Model-model wanprestasi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Wanprestasi
berupa tidak memenuhi prestasi.
2. Wanprestasi
berupa terlambat memenuhi prestasi.
3. Wanpresatsi
berupa tidak sempurna memenuhi prestasi.
Dalam hal
wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi dalam hukum kontrak dikenal
dengan suatu doktrin yang disebut
dengan
“Doktrin Pemenuhan Prestasi Substansial” (Substansial Performance).
Yang dimaksud dengan “Doktrin Pemenuhan Prestasi Substansial” adalah
suatu doktrin yang mengajarkan bahwa
sungguhpun
satu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara sempurna, tetapi jika
dia telah melaksanakan prestasinya tersebut secara substansial,
maka pihak lain harus juga melaksanakan prestasinya secara sempurna. Apabila
suatu pihak tidak melaksanakan
prestasinya secara substansial, maka disebut telah tidak melaksanakan
kontrak secara “material” (material breach).
Pelaksanaan
substansial performace terhadap kontrak yang bersangkutan, tidaklah
berlaku lagi doktrin exceptio non adimpleti contractus,
yakni doktrin yang mengajarkan bahwa apabila suatu pihak tidak
melaksanakan prestasinya, maka pihak lain dapat juga
tidak
melaksanakan prestasinya.
Sebagai
contoh, jika seorang kontraktor mengikat kontrak dengan pihak bouwheer
untuk mendirikan sebuah bangunan, misalnya dia hanya tinggal memasang
kunci bagi bangunan tersebut
sementara
pekerjaan-pekerjaan lainnya telah selesai dilakukannya, maka dapat dikatakan
dia telah melaksanakan kontrak secara substansial. Sementara kunci yang tidak
dipasang pada bangunan tersebut
bukan berarti dia telah tidak melaksanakan kontrak secara
”material” (material
breach).
Akan
tetapi tidak terhadap semua kontrak dapat diterapkan doktrin pelaksanaan
kontrak secara substansial. Untuk kontrak jual
beli atau
kontrak yang berhubungan dengan tanah misalnya, biasanya doktrin
pelaksanaan kontrak secara substansial tidak dapat diberlakukan.
Untuk
kontrak-kontrak yang tidak berlaku doktrin pemenuhan prestasi
secara substansial, berlaku doktrin pelaksanaan prestasi secara penuh
atau sering disebut istilah-istilah sebagai berikut :
1. Strict
Performance rule.
2. Full
Performance rule.
3. Perfect
tender rule.
Berdasarkan
doktrin pelaksanaan kontrak secara penuh ini, misalnya seorang
penjual menyerahkan barang yang tidak sesuai (dari segala aspek)
dengan kontrak, maka pihak pembeli dapat menolak barang tersebut. Dalam diagram
berikut ini terlihat bagaimana
pemenuhan prestasi dalam kontrak dalam berbagai
kemungkinan
yuridisnya.
2.4
Akibat-akibat Wanprestasi
Suatu perjanjian, merupakan suatu peristiwa di mana
seorang berjanji kepada seorang lain, atau di mana dua orang saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu. Beberapa hal yang
dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga
macam yaitu :
- perjanjian
untuk memberikan/menyerahkan suatu barang, misalnya jual beli, tukar
menukar, penghibahan (pemberian), sewa menyewa, pinjam pakai.
- perjanjian untuk berbuat sesuatu, misalnya
perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan.
- Perjanjian
untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan
suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan seorang lain.
Mengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang
atau untuk melakukan suatu perbuatan, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan
batas waktunya tetapi si berutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu
yang ditentukan, pelaksanaan prestasi itu harus lebih dahulu ditagih. Apabila
prestasi tidak seketika dapat dilakukan, maka si berutang perlu diberikan waktu
yang pantas.
Sanksi yang
dapat dikenakan atas debitur yang lalai atau alpa ada empat macam, yaitu:
1. Membayar Kerugian
Code Civil memperinci ganti rugi itu dalam dua
unsur, yaitu dommages et interests. Dommages meliputi biaya dan rugi
seperti dimaksudkan di atas, sedangkan interest adalah sama dengan bunga
dalam arti kehilangan keuntungan.
Dalam soal penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang
diberikan ketentuan-ketentuan yang merupakan pembatasan dari apa yang boleh
dituntut sebagai ganti rugi.
Pasal 1247
KUHPer menentukan :
“Si berutang
hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya
harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak
dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan
olehnya”.
Pasal 1248
KUHPer menentukan :
“Bahkan
jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si
berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga, sekedar mengenai kerugian yang
diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah
terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian”.
Suatu pembatasan lagi dalam pembayaran ganti rugi
terdapat dalam peraturan mengenai bunga moratoir. Apabila prestasi itu
berupa pembayaran sejumlah uang, maka kerugian yang diderita oleh kreditur
kalau pembayaran itu terlambat, adalah berupa interest, rente atau
bunga.
Perkataan “moratoir” berasal dari kata Latin “mora”
yang berarti kealpaan atau kelalaian. Jadi bunga moratoir berarti bunga yang
harus dibayar (sebagai hukuman) karena debitur itu alpa atau lalai membayar
utangnya, ditetapkan sebesar 6
prosen setahun. Juga bunga tersebut baru dihitung sejak dituntutnya ke
pengadilan, jadi sejak dimasukkannya surat gugatan.
2. Pembatalan Perjanjian
Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah
pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa
pembatalan itu berlaku surut sampai pada detik dilahirkannya perjanjian. Kalau
suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun
barang, maka itu harus dikembalikan. Perjanjian
itu ditiadakan.
Pembatalan perjanjian karena kelalaian debitur diatur
dalam pasal 1266 KUHPerdata yang
mengatur mengenai perikatan bersyarat, yang berbunyi:
“Syarat
batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal
balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal
demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan
kepada hakim.Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal
mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.Jika
syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan
atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna
kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu
bulan”.
Pembatalan
perjanjian itu harus dimintakan kepada hakim, bukan batal secara otomatis
walaupun debitur nyata-nyata melalaikan kewajibannya. Putusan hakim itu tidak
bersifat declaratoir tetapi constitutif, secara aktif membatalkan
perjanjian itu. Putusan hakim tidak berbunyi “Menyatakan batalnya perjanjian
antara penggugat dan tergugat” melainkan, “Membatalkan perjanjian”.
Hakim harus mempunyai kekuasaan discretionair, artinya
: kekuasaan untuk menilai besar kecilnya kelalaian debitur dibandingkan dengan
beratnya akibat pembatalan perjanjian yang mungkin menimpa si debitur itu.
Kalau hakim menimbang kelalaian debitur itu terlalu kecil, sedangkan pembatalan
perjanjian akan membawa kerugian yang terlalu besar bagi debitur, maka
permohonan untuk membatalkan perjanjian akan ditolak oleh hakim. Menurut pasal
1266 hakim dapat memberikan jangka waktu kepada debitur untuk masih memenuhi
kewajibannya. Jangka waktu ini terkenal dengan nama “terme de grace”.
3. Peralihan Resiko
Sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur
disebutkan dalam pasal 1237 KUHPerdata. Yang dimaksudkan dengan “resiko” adalah kewajiban untuk memikul kerugian
jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa
barang yang menjadi objek perjanjian.
Peralihan
resiko dapat digambarkan demikian :
Menurut
pasal 1460 KUHPer, maka resiko dalam jual beli barang tertentu dipikulkan
kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau si penjual itu
terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan
resiko tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya sipenjual,
resiko itu beralih kepada dia.
4. Membayar Biaya Perkara
Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi
keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan
Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara.
2.5 Perbedaan
Wanprestasi dengan Penipuan
Wanprestasi dengan delik
penipuan memiliki karakteristik perbuatan materil yang berbeda baik dari
unsur-unsur perbuatannya maupun dari penyebab lahirnya perbuatan tersebut. Ada
beberapa hal yang dapat membedakan
keduanya
antara lain:
1. Sifat melawan
hukum dalam tindak pidana penipuan tidak sama dengan sifat melawan perikatan
yang terkandung dalam perbuatan wanprestasi.
2. Sifat melawan hukum dalam suatu tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum/aturan yang berlaku secara umum, sedangkan sifat melawan perikatan merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan aturan yang berlaku khusus yang dibuat/diperjanjikan oleh para pihak.
2. Sifat melawan hukum dalam suatu tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum/aturan yang berlaku secara umum, sedangkan sifat melawan perikatan merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan aturan yang berlaku khusus yang dibuat/diperjanjikan oleh para pihak.
3. Tidak
melaksanakan prestasi (ingkar janji) tidak dapat disamakan dengan unsur penipuan muslihat atau
serangkaian kebohongan dalam pasal 378 KUHP karena ingkar janji merupakan
bagian dari pelanggaran atas perikatan pokok.
4. Penyerahan suatu prestasi karena kewajiban perikatan tidak sama dengan penyerahan prestasi karena tipu daya yang dilakukan untuk mempengaruhi kehendak seseorang dengan suatu kebohongan/keadaan palsu agar mau menyepakati suatu perjanjian
4. Penyerahan suatu prestasi karena kewajiban perikatan tidak sama dengan penyerahan prestasi karena tipu daya yang dilakukan untuk mempengaruhi kehendak seseorang dengan suatu kebohongan/keadaan palsu agar mau menyepakati suatu perjanjian
5. Dengan tidak
adanya unsur melawan hukum dan unsur menggerakan orang lain dengan nama palsu,
keadaan palsu, tipu muslihat atau serangkaian kebohongan, maka perkara penipuan
yang mengandung unsur wanprestasi lebih tepat jika diputus bebas dengan alasan
bahwa salah satu/beberapa unsur tindak pidana dalam Pasal 378 KUHP tidak
terpenuhi.
2.6
Penyelesaian Masalah Wanprestasi
Wanprestasi termasuk dalam jenis
perkara perdata, oleh karena itu penyelesaian perkaranya akan didasarkan pada
prosedur penyelesaian perkara menurut hukum acara perdata.
"Hukum Acara Perdata merupakan
Serangkaian Peraturan hukum yang mengatur dan menentukan agar dijalankannya
Hukum Perdata Materil dan menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan"
Tahapan-tahapannya sebagai berikut :
1.
Penggugat Mengajukan Gugatan (di kepaniteraan,
diproses).
2.
Proses mediasi untuk mengusahakan perdamaian.
3.
Tergugat menyampaikan
eksepsi/jawaban.
4.
Penggugat menyampaikan replik.
5.
Tergugat menyampaikan duplik.
6.
Penggugat dan tergugat menyampaikan
alat-alat bukti.
7.
Penggugat dan tergugat menyampaikan
tanggapan terhadap alat bukti yang diajukan pihak lawan.
8.
Penggugat dan tergugat menyampaikan
kesimpulkan, dan
9.
Hakim membacakan putusan.
BAB
3
SIMPULAN
DAN SARAN
3.1 Simpulan
1. Wanprestasi adalah
pelaksanaan perjanjian yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut
selayaknya atau tidak dilaksanakan sama sekali. Dengan demikian wanprestasi
dapat berbentuk:
1. Tidak melaksanakan apa
yang disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak
sebagaimana mestinya.
3. Melakukan apa yang
dijanjikannya tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
2. Overmacht adalah keadaan dimana debitur terhalang
dalam memenuhi prestasinya karena suatu keadaan yang tak terduga lebih dahulu
dan tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, debitur dibebaskan untuk
membayar ganti rugi dan bunga.
Akibat overmacht, yaitu:
4.
Kreditur tidak dapat
meminta pemenuhan prestasi.
5.
Debitur tidak dapat
lagi dinyatakan lalai.
6.
Risiko tidak
beralih kepada debitur.
3.2 Saran
Sebaiknya dalam
melakukan setiap transaksi harus ada perjanjian antara kedua belah pihak,
karena dengan adanya perjanjian kita bisa melakukan tindakan hukum jika perjanjian
tersebut dilanggar oleh debitur.
0 komentar:
Post a Comment