Friday, December 6, 2013

MAKALAH HUKUM BISNIS

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Di era globalisasi ini, perjanjian jual beli menjadi hal yang sering untuk dilakukan oleh para pihak berdasarkan suatu kesepakatan bersama. Dalam perjanjian jual beli tersebut, para pihak dapat mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, dimana para pihak yang terlibat dalam perjanjian jual beli tersebut akan mendapat perlindungan hukum apabila para pihak mempunyai bukti tertulis dalam suatu ikatan perjanjian jual beli. Pihak yang satu menyerahkan hak milik atas suatu barang, pihak lainnya berjanji untuk membayar dengan harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Pihak yang satu disebut penjual berkewajiban untuk menyerahkan barang sesuai dengan isi perjanjian dan berhak untuk menerima harga (pembayaran), dan pihak yang lain yaitu pembeli berkewajiban untuk membayar harga, dan berhak untuk mendapatkan barang yang diperjanjikan dalam perjanjian jual beli tersebut.
Di dalam pelaksanaan perjanjian jual beli kadang terjadi permasalahan dimana pihak pembeli dan pihak yang menjual tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian. Tidak dipenuhinya kewajiban tersebut dapat disebabkan karena kelalain atau kesengajaan atau karena suatu peristiwa yang terjadi diluar kemampuan masing-masing pihak. Dengan kata lain disebabkan oleh wanprestasi atau overmacht. Overmacht atau keadaan memaksa adalah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. 
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban (prestasi) sebagimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditor dengan debitur. Wanprestasi dapat berupa : Pertama, tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya. Kedua, melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana mestinya. Ketiga, melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat. Keempat, melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. 
Wanprestasi timbul dari persetujuan (agreement). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak. Dari perjanjian tersebut maka muncul kewajiban para pihak untuk melaksanakan isi perjanjian (prestasi). Prestasi tersebut dapat dituntut apabila tidak dipenuhi. Apabila suatu pihak tidak melaksanakan atau memenuhi prestasi sesuai dengan perjanjian itu, maka pihak tersebut dianggap telah melakukan wanprestasi.
Melihat persolan diatas, maka penulis menjadi tertarik untuk guna penyusunan makalah yang diberi judul: WANPRESTASI DALAM TRANSAKSI”.




1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan wanprestasi ?
2.      Apa saja bentuk-bentuk wanprestasi ?
3.      Bagaimana para pihak menyelesaikan wanprestasi ?
1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui wanprestasi.
2.      Untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk wanprestasi.
3.       Untuk mengetahui bagaimana para pihak menyelesaikan wanprestasi.
1.4 Metode
Penyusunan makalah ini menggunakan metode observasi dan kepustakaan, observasi yang dilakukan seperti studi pustaka dengan membaca buku-buku yang berkaitan dengan judul makalah. Dan sumber lainnya melalui informasi media komunikasi (internet) yang berhubungan dengan tema makalah.


BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Kajian Teoritis
Pasal 1315 KUH Perdata memberikan penjelasan tentang terhadap siapa sajakah suatu perjanjian mempunyai pengaruh langsung. Bahwa perjanjian mengikat para pihak sendiri adalah logis, dalam arti, bahwa hak dan kewajiban yang timbul dari adanya suatu perjanjian hanyalah untuk para pihak saja.
Pasal 1315 KUH Perdata,
“Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk diri sendiri.”

Jadi orang bebas membuat perjanjian, bebas untuk menentukan isi, luas dan bentuknya perjanjian sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”
“Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undangundang dinyatakan cukup untuk itu”
“Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”
Menurut Rutten dalam buku karangan Purwahid Patrik, azas-azas Hukum Perjanjian yang diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata ada 3 (tiga), yaitu :
1. Azas Konsensualisme, bahwa perjanjian yang dibuat itu pada umumnya bukan secara formil tetapi konsensuil, artinya perjanjian itu selesai karena persetujuan kehendak atau konsensus semata-mata.
2. Azas kekuatan mengikat dari perjanjian, bahwa pihak-pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata; bahwa perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak.
3. Azas kebebasan berkontrak, dalam hal ini orang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih Undang-Undang mana yang akan dipakai untuk perjanjian itu.
Demikianlah seterusnya dapat ditarik kesimpulan di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga asas-asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang mengikat para pihak.
Pasal 1339 KUH Perdata:
“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yangmenurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.

Suatu perjanjian tidak diperkenankan merugikan pihak ketiga, hal ini sesuai dengan Pasal 1340 KUH Perdata:
“Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”.
Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata".

Pihak ketiga adalah mereka yang bukan merupakan pihak dalam suatu perjanjian dan juga bukan penerima/pengoper hak (rechtsverkrijgenden), baik berdasarkan alas hak umum maupun alas hak khusus.
Suatu perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban antara para pihak. Isi hak dan kewajiban tersebut selain ditentukan oleh hukum yang memaksa juga sudah tentu oleh sepakat para pihak. Namun disamping itu hukum yang menambah juga mengisi kekosongan dalam perjanjian mereka, yaitu apabila mereka tidak secara tegas mengaturnya secara menyimpang. Adanya kesempatan kepada para pihak untuk menyimpangi ketentuan yang bersifat menambah itu, ada kalanya memberikan kesempatan kepada si kuat untuk menyingkirkan tanggung jawab tertentu, bahkan ada kalanya menggesernya ke pundak lawan janjinya, dengan memperjanjikan suatu klausula, yang biasa disebut exoneratie-clausul. Dengan adanya kesempatan seperti itu kita sudah dapat menduga, bahwa kemungkinan terjadi, bahwa klausula exoneratie mempunyai kaitan dengan penyalahgunaan keadaan.
2.2 Wanprestasi dan Overmacht Dalam Perjanjian
Wanprestasi adalah pelaksanaan perjanjian yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilaksanakan sama sekali. Dengan demikian wanprestasi dapat berbentuk:
1.  Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana mestinya.
3.  Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Overmacht adalah keadaan dimana debitur terhalang dalam memenuhi prestasinya karena suatu keadaan yang tak terduga lebih dahulu dan tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, debitur dibebaskan untuk membayar ganti rugi dan bunga.
Akibat overmacht, yaitu:
1.      Kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi.
2.      Debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai.
3.      Risiko tidak beralih kepada debitur.
Apabila debitur melakukan wanprestasi, maka dia dapat dituntut untuk:
1. Pemenuhan perjanjian.
2. Pemenuhan perjanian ditambah ganti rugi.
3. Ganti rugi.
4. Pembatalan perjanjian timbal balik.
5. Pembatalan dengan ganti rugi.
Kewajiban membayar ganti rugi (schade vergoeding) tersebut tidak timbul seketika terjadi kelalaian, melainkan baru efektif setelah debitur dinyatakan lalai (ingebrekestelling) dan tetap tidak melaksanakan prestasinya. Hal ini diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata, sedangkan bentuk pernyataan lalai tersebut diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata yang pada pokoknya menyatakan:
1. Pernyataan lalai tersebut harus berbentuk surat perintah atau akta lain yang sejenis, yaitu suatu salinan daripada tulisan yang telah dibuat lebih dahulu oleh juru sita dan diberikan kepada yang bersangkutan.
2. Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri.
3. Jika tegoran kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul peringatan atau anmaning yang biasa disebut sommasi. Selanjutnya, disyaratkan kerugian yang dapat dituntut haruslah kerugian yang menjadi akibat langsung dari wanprestasi. Artinya antara kerugian dan wanprestasi harus ada hubungan sebab akibat. Dalam hal ini kreditor harus dapat membuktikan:
1.  Besarnya kerugian yang dialami.
2. Bahwa faktor penyebab kerugian tersebut adalah wanprestasi karena kelalaian kreditor, bukan karena faktor diluar kemampuan debitur.
2.3 Model-model Wanprestasi dan Doktrin Pelaksanaan Kontrak Secara Substansial
Ada berbagai model bagi para pihak yang tidak memenuhi prestasinya walaupun sebelumnya sudah setuju untuk dilaksanakannya. Model-model wanprestasi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Wanprestasi berupa tidak memenuhi prestasi.
2. Wanprestasi berupa terlambat memenuhi prestasi.
3. Wanpresatsi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi.
Dalam hal wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi dalam hukum kontrak dikenal dengan suatu doktrin yang disebut dengan “Doktrin Pemenuhan Prestasi Substansial” (Substansial Performance). Yang dimaksud dengan “Doktrin Pemenuhan Prestasi Substansial” adalah suatu doktrin yang mengajarkan bahwa sungguhpun satu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara sempurna, tetapi jika dia telah melaksanakan prestasinya tersebut secara substansial, maka pihak lain harus juga melaksanakan prestasinya secara sempurna. Apabila suatu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara substansial, maka disebut telah tidak melaksanakan kontrak secara “material” (material breach).
Pelaksanaan substansial performace terhadap kontrak yang bersangkutan, tidaklah berlaku lagi doktrin exceptio non adimpleti contractus, yakni doktrin yang mengajarkan bahwa apabila suatu pihak tidak melaksanakan prestasinya, maka pihak lain dapat juga
tidak melaksanakan prestasinya.
Sebagai contoh, jika seorang kontraktor mengikat kontrak dengan pihak bouwheer untuk mendirikan sebuah bangunan, misalnya dia hanya tinggal memasang kunci bagi bangunan tersebut sementara pekerjaan-pekerjaan lainnya telah selesai dilakukannya, maka dapat dikatakan dia telah melaksanakan kontrak secara substansial. Sementara kunci yang tidak dipasang pada bangunan tersebut bukan berarti dia telah tidak melaksanakan kontrak secara
”material” (material breach).
Akan tetapi tidak terhadap semua kontrak dapat diterapkan doktrin pelaksanaan kontrak secara substansial. Untuk kontrak jual
beli atau kontrak yang berhubungan dengan tanah misalnya, biasanya doktrin pelaksanaan kontrak secara substansial tidak dapat diberlakukan.
Untuk kontrak-kontrak yang tidak berlaku doktrin pemenuhan prestasi secara substansial, berlaku doktrin pelaksanaan prestasi secara penuh atau sering disebut istilah-istilah sebagai berikut :
1. Strict Performance rule.
2. Full Performance rule.
3. Perfect tender rule.
Berdasarkan doktrin pelaksanaan kontrak secara penuh ini, misalnya seorang penjual menyerahkan barang yang tidak sesuai (dari segala aspek) dengan kontrak, maka pihak pembeli dapat menolak barang tersebut. Dalam diagram berikut ini terlihat bagaimana pemenuhan prestasi dalam kontrak dalam berbagai
kemungkinan yuridisnya.
2.4 Akibat-akibat Wanprestasi
Suatu perjanjian, merupakan suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Beberapa hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga macam yaitu : 
  1. perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang, misalnya jual beli, tukar menukar, penghibahan (pemberian), sewa menyewa, pinjam pakai. 
  2. perjanjian untuk berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan. 
  3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan seorang lain. 
Mengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu perbuatan, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan batas waktunya tetapi si berutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan, pelaksanaan prestasi itu harus lebih dahulu ditagih. Apabila prestasi tidak seketika dapat dilakukan, maka si berutang perlu diberikan waktu yang pantas. 
Sanksi yang dapat dikenakan atas debitur yang lalai atau alpa ada empat macam, yaitu: 
1. Membayar Kerugian
Code Civil memperinci ganti rugi itu dalam dua unsur, yaitu dommages et interests. Dommages meliputi biaya dan rugi seperti dimaksudkan di atas, sedangkan interest adalah sama dengan bunga dalam arti kehilangan keuntungan. 
Dalam soal penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang diberikan ketentuan-ketentuan yang merupakan pembatasan dari apa yang boleh dituntut sebagai ganti rugi. 
Pasal 1247 KUHPer menentukan : 
Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya”. 

Pasal 1248 KUHPer menentukan : 
Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga, sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian”. 

Suatu pembatasan lagi dalam pembayaran ganti rugi terdapat dalam peraturan mengenai bunga moratoir. Apabila prestasi itu berupa pembayaran sejumlah uang, maka kerugian yang diderita oleh kreditur kalau pembayaran itu terlambat, adalah berupa interest, rente atau bunga. 
Perkataan “moratoir” berasal dari kata Latin “mora” yang berarti kealpaan atau kelalaian. Jadi bunga moratoir berarti bunga yang harus dibayar (sebagai hukuman) karena debitur itu alpa atau lalai membayar utangnya, ditetapkan sebesar 6 prosen setahun. Juga bunga tersebut baru dihitung sejak dituntutnya ke pengadilan, jadi sejak dimasukkannya surat gugatan. 
2. Pembatalan Perjanjian
Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa pembatalan itu berlaku surut sampai pada detik dilahirkannya perjanjian. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan. Perjanjian itu ditiadakan. 
Pembatalan perjanjian karena kelalaian debitur diatur dalam pasal 1266 KUHPerdata yang mengatur mengenai perikatan bersyarat, yang berbunyi: 
Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan”. 

Pembatalan perjanjian itu harus dimintakan kepada hakim, bukan batal secara otomatis walaupun debitur nyata-nyata melalaikan kewajibannya. Putusan hakim itu tidak bersifat declaratoir tetapi constitutif, secara aktif membatalkan perjanjian itu. Putusan hakim tidak berbunyi “Menyatakan batalnya perjanjian antara penggugat dan tergugat” melainkan, “Membatalkan perjanjian”. 
Hakim harus mempunyai kekuasaan discretionair, artinya : kekuasaan untuk menilai besar kecilnya kelalaian debitur dibandingkan dengan beratnya akibat pembatalan perjanjian yang mungkin menimpa si debitur itu. Kalau hakim menimbang kelalaian debitur itu terlalu kecil, sedangkan pembatalan perjanjian akan membawa kerugian yang terlalu besar bagi debitur, maka permohonan untuk membatalkan perjanjian akan ditolak oleh hakim. Menurut pasal 1266 hakim dapat memberikan jangka waktu kepada debitur untuk masih memenuhi kewajibannya. Jangka waktu ini terkenal dengan nama “terme de grace”. 
3. Peralihan Resiko
Sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam pasal 1237 KUHPerdata. Yang dimaksudkan dengan “resiko” adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian. 
Peralihan resiko dapat digambarkan demikian : 
Menurut pasal 1460 KUHPer, maka resiko dalam jual beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau si penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan resiko tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya sipenjual, resiko itu beralih kepada dia. 
4. Membayar Biaya Perkara
Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara.
2.5 Perbedaan Wanprestasi dengan Penipuan
Wanprestasi dengan delik penipuan memiliki karakteristik perbuatan materil yang berbeda baik dari unsur-unsur perbuatannya maupun dari penyebab lahirnya perbuatan tersebut. Ada beberapa hal yang dapat membedakan keduanya antara lain:
1. Sifat melawan hukum dalam tindak pidana penipuan tidak sama dengan sifat melawan perikatan yang terkandung dalam perbuatan wanprestasi.
2. Sifat melawan hukum dalam suatu tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum/aturan yang berlaku secara umum, sedangkan sifat melawan perikatan merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan aturan yang berlaku khusus yang dibuat/diperjanjikan oleh para pihak.
3. Tidak melaksanakan prestasi (ingkar janji) tidak dapat disamakan dengan unsur penipuan muslihat atau serangkaian kebohongan dalam pasal 378 KUHP karena ingkar janji merupakan bagian dari pelanggaran atas perikatan pokok.
4. Penyerahan suatu prestasi karena kewajiban perikatan tidak sama dengan penyerahan prestasi karena tipu daya yang dilakukan untuk mempengaruhi kehendak seseorang dengan suatu kebohongan/keadaan palsu agar mau menyepakati suatu perjanjian
5. Dengan tidak adanya unsur melawan hukum dan unsur menggerakan orang lain dengan nama palsu, keadaan palsu, tipu muslihat atau serangkaian kebohongan, maka perkara penipuan yang mengandung unsur wanprestasi lebih tepat jika diputus bebas dengan alasan bahwa salah satu/beberapa unsur tindak pidana dalam Pasal 378 KUHP tidak terpenuhi.
2.6 Penyelesaian Masalah Wanprestasi
Wanprestasi termasuk dalam jenis perkara perdata, oleh karena itu penyelesaian perkaranya akan didasarkan pada prosedur penyelesaian perkara menurut hukum acara perdata.
"Hukum Acara Perdata merupakan Serangkaian Peraturan hukum yang mengatur dan menentukan agar dijalankannya Hukum Perdata Materil dan menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan"
Tahapan-tahapannya sebagai berikut :
1.       Penggugat Mengajukan Gugatan (di kepaniteraan, diproses).
2.       Proses mediasi untuk mengusahakan perdamaian.
3.      Tergugat menyampaikan eksepsi/jawaban.
4.       Penggugat menyampaikan replik.
5.      Tergugat menyampaikan duplik.
6.      Penggugat dan tergugat menyampaikan alat-alat bukti.
7.      Penggugat dan tergugat menyampaikan tanggapan terhadap alat bukti yang diajukan pihak lawan.
8.      Penggugat dan tergugat menyampaikan kesimpulkan, dan
9.      Hakim membacakan putusan.

BAB 3
SIMPULAN DAN SARAN
3.1  Simpulan
1. Wanprestasi adalah pelaksanaan perjanjian yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilaksanakan sama sekali. Dengan demikian wanprestasi dapat berbentuk:
1.  Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana mestinya.
3.  Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
2. Overmacht adalah keadaan dimana debitur terhalang dalam memenuhi prestasinya karena suatu keadaan yang tak terduga lebih dahulu dan tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, debitur dibebaskan untuk membayar ganti rugi dan bunga.
Akibat overmacht, yaitu:
4.      Kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi.
5.      Debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai.
6.      Risiko tidak beralih kepada debitur.
3.2  Saran

Sebaiknya dalam melakukan setiap transaksi harus ada perjanjian antara kedua belah pihak, karena dengan adanya perjanjian kita bisa melakukan tindakan hukum jika perjanjian tersebut dilanggar oleh debitur.

0 komentar:

Post a Comment